Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #6

Ruang

Kini, 09 Mei 2019

Aku baru saja kembali dari sebuah perjalanan waktu. Tujuh, sepuluh, atau bahkan dua belas tahun lalu?

Jika dari obrolan yang berhasil kucuri dengar, pemilihan presiden baru saja dilangsungkan. Itu artinya saat ini aku hidup di tahun 2019 atau kelipatannya. Entahlah. Aku belum berhasil mengingatnya dengan pasti.

Satu hal yang pasti adalah dunia di luar sana terus berputar, sementara aku masih terkurung di balik dinding ruang perawatan intensif rumah sakit; terjebak dalam tubuh sendiri tanpa bisa melakukan apa pun. Kenangan justru membawaku berjalan mundur, mengais kepingan puzzle yang berserak dalam ingatan.

Awalnya terasa melelahkan. Namun, aku mulai terbiasa dengan kondisi ini. Sebentar terlempar ke masa lalu, kemudian kembali lagi dengan kesadaran yang tak utuh. Suara bip dari bedside monitor yang stabil menjadi penghiburanku. Berkali-kali kukatakan pada diri sendiri untuk tenang. Aku baik-baik saja dan masih hidup hingga sekarang—itulah kenyataan terbaiknya.

Hari ini—atau lebih tepatnya momen ini, aku memutuskan untuk berdamai dengan segala situasi. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku hanya berharap bisa bangun besok pagi. Jadi, sebisa mungkin kunikmati setiap emosi dari kenangan acak yang berhasil kuingat. Kubiarkan semua indra bekerja dan imajinasiku mengembara.

Tempat ini dingin, sunyi, dan abstrak bagiku. Jadi, aku mulai membentuk bayangan dengan imajinasiku sendiri. Aku berusaha membuatnya senyaman mungkin. Meskipun hingga detik ini, rasa nyeri dan sakit di sekujur tubuhku sama sekali belum berkurang.

Aku membayangkan tengah berada di Kota T, sebuah tempat dingin yang terletak di antara pegunungan nan indah. Aku menginap di vila yang asri. Kasurnya lembut dan hangat. Dari balkon kamarnya, aku bisa melihat hamparan perkebunan teh membentang luas sepanjang mata memandang. Gunung-gunung di sekitarnya melingkar serupa pagar. Nyanyian tongeret menjadi pemecah sunyi setiap menjelang senja hingga malam tiba. Begitu sunyi dan menenangkan.

Anggap saja aku berada di sana sekarang. Sebuah tempat yang berhasil kuingat setelah kenangan terakhir muncul. Meskipun yang kudengar bukanlah nyanyian tongeret, melainkan suara bedside monitor yang terus bekerja siang dan malam.

Aku ingat. Aku pergi ke sana selama tiga hari saat hamil anak pertama untuk menghadiri acara family gathering kantor Mas Hadi. Sayangnya kondisi kehamilanku saat itu mengharuskanku istirahat total. Mas Hadi mengikuti setiap kegiatan sendirian, sementara aku beristirahat di kamar.

Aku menghabiskan waktu dengan mendengar musik dan menonton serial favorit. Rasanya memang tidak ada yang istimewa. Tapi, membayangkan tengah berada di momen itu jauh lebih baik dibanding menyadari jika aku sekarang sedang koma—dan berada di sebuah ruangan yang entah seperti apa.

Sejak menikah, Mas Hadi tak mau lama-lama jauh dariku. Dia membawaku ke mana pun pergi dinas. Mas Hadi membuatku merasa begitu dicintai dan dibutuhkan. Bahkan hingga saat ini. Dari obrolan para perawat yang mengunjungiku beberapa saat lalu, Mas Hadi datang hampir setiap hari. Dia memang tidak menungguku. Namun, dia selalu ada seperti biasa. Aku sangat bersyukur untuk itu.

Ah, baby moon kami saat itu juga berhasil menghapus kekecewaanku terhadap Mbak Dara. Aku mulai melupakan kejadian itu. Bagiku, selama Mas Hadi memperlakukanku dengan baik, maka itu bukan masalah besar. Aku membiarkan perasaan kecewa itu berlalu seperti sebelumnya.

Lihat selengkapnya