Kota J, September 2012 (Sembilan bulan setelah menikah)
Aku bergegas mengemas pakaian setelah Uwa Sumi memberi kabar jika Ibu sakit. Tekanan darah Ibu terus naik. Terakhir, pembuluh darah di mata Ibu sampai pecah. Uwa Sumi sudah membujuk Ibu untuk pergi ke rumah sakit, tapi Ibu bilang tidak perlu. Dua hari ini, Ibu hanya mengandalkan sisa obat yang ditebusnya terakhir kali.
Ibu memang punya riwayat sakit darah tinggi. Dia juga sudah mengkonsumsi obat jantung sejak lima tahun lalu—satu tahun setelah kepergian Bapak.
Trauma atas kepergian Bapak yang tiba-tiba, membuatku mudah khawatir. Aku tidak ingin kehilangan Ibu dengan cara yang sama.
Sejak sebulan lalu, Ibu pindah ke Kota S, kampung halaman kami. Aku dan Mbak Dara sudah melarangnya berulang kali. Tapi, Ibu bersikeras. Katanya, Ibu rindu Bapak. Dia ingin menghabiskan masa tuanya di sana bersama Uwa Sumi, kakak kandung Bapak yang tidak menikah. Ibu berjanji akan kembali ke Kota J setelah aku melahirkan.
"Kota J ke Kota S itu ndak jauh, Nduk. Ibu bisa ke sini kapan saja. Kamu sama Dara juga bisa pulang kapan pun," kata Ibu saat aku dan Mbak Dara kembali meyakinkannya untuk tinggal. "Ada Hadi juga yang sekarang jagain kamu."
Namun, sekarang Mas Hadi tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif sejak pagi, sementara aku harus segera berangkat demi mengejar kereta siang ini.
Aku mencoba menghubungi Mbak Dara. Terdengar bunyi sambungan telepon. Sekali. Dua kali. Mbak Dara belum mengangkatnya. Aku menunggu beberapa saat hingga suara operator jaringan memintaku menghubunginya lain kali.
Mbak Dara menghubungi kembali tepat saat aku akan memesan taksi. Aku mengangkatnya dengan buru-buru. "Mbak, udah tahu?" tanyaku begitu kata 'halo' diucapkan Mbak Dara. Aku bahkan lupa memberi salam.
"Iya, Ama. Uwa Sumi udah ngabarin aku sejak pagi tadi." Hening selama beberapa saat. Aku mendengar embusan napas berat di seberang telepon. "Tapi, aku nggak bisa pulang saat ini juga, Ama. Mungkin nanti malam."
Aku mengangguk seolah Mbak Dara bisa melihatnya. "Aku duluan pulang, Mbak. Tapi, aku belum bisa menghubungi Mas Hadi."
Ada keheningan yang cukup panjang sebelum Mbak Dara berkata, "Ah, kami satu gedung, Ama. Kamu nggak perlu khawatir, nanti aku sampaikan kalau udah memungkinkan keluar."
Mbak Dara memberi solusi yang membuatku merasa begitu lega.
Kami berdiskusi perihal pengobatan Ibu dan rencana untuk membawanya ke Kota J.Toh usia kandunganku sudah tidak muda lagi. Aku akan melahirkan pertengahan hingga akhir bulan depan. Mbak Dara memintaku membujuk Ibu dengan alasan itu.
Kami sepakat untuk bertemu di kampung sebelum memutus sambungan telepon.
Begitu sambungan telepon terputus, aku menghubungi taksi langganan. Aku diminta menunggu lima belas menit karena jalanan Kota J yang padat di jam ini. Aku setuju. Aku menunggu taksi yang kupesan di teras depan.
Dua puluh menit berlalu dan taksi yang kupesan tiba. Supir taksi berkali-kali meminta maaf karena tidak bisa datang lebih cepat. Aku memakluminya. Lagi pula, jadwal kereta masih dua jam lagi.
"Aduh!" Aku mengaduh pelan. Aku merasakan nyeri hebat di perut bagian bawah saat masuk ke dalam mobil.
"Ibu baik-baik saja? Apakah sudah ingin melahirkan?" tanya sang supir penuh perhatian. Wajahnya tampak sedikit pias.
Aku menggeleng pelan. Rasa sakitnya belum hilang. Sekarang malah diiringi dengan perut yang menegang. Sakit sekali. Aku menunggu selama beberapa detik hingga sakitnya sedikit mereda.
"Saya butuh air putih, Pak."
Supir taksi buru-buru mengambilkan sebotol minuman di dashboard mobil. "Ini belum dibuka, Bu. Kalau Ibu butuh ke rumah sakit, mari saya antar."
"Nggak, Pak. Saya belum mau melahirkan. Saya harus pergi ke stasiun," kataku setelah akhirnya bisa mengendalikan diri. Aku belum mau melahirkan. Belum saatnya.