Kota J, November 2012 (Dua bulan setelah melahirkan)
Ponsel terus berdering, sementara mata dan tubuhku menolak bangun. Kuraba nakas, berharap bisa menggapai ponsel yang—seingatku—ada di sana.
Aku berhasil. Kutatap layar ponsel yang menampilkan nama Mbak Kania sebagai pemanggil. Lampu indikator Blackberry-ku terus berkedip. Merah, biru, merah.
"Mbak, maaf aku baru bangun."
"Sori, Rahma. Aku ganggu istirahat kamu, ya?"
"Bentar, Mbak."
Pelan-pelan, aku bangkit dari tempat tidur sambil terus memperhatikan Khoirul yang masih terlelap. Aku berjingkat keluar kamar, khawatir membuat suara berlebihan. Begitu sampai di ruang keluarga, aku kembali mendekatkan ponsel ke telinga. "Mbak Kania nggak ganggu aku. Akunya aja yang kesiangan."
"Khoirul ngajak begadang lagi?"
"Iya, Mbak. Kayaknya dia masih menyesuaikan diri sama dunia barunya," ucapku menebak-nebak. Sok tahu.
Terdengar suara agak bising sebagai latar belakang. Sepertinya, Mbak Kania tidak sedang berada di rumah.
"Bisa bukain gerbang depan? Kamu di rumah, 'kan?"
Wait! Jangan bilang Mbak Kania di depan rumahku sekarang!
Buru-buru, aku berlari menuju kamar depan yang kini disulap menjadi ruang kerja Mas Hadi. Dari jendela yang mengahadap teras, aku bisa melihat ke arah luar. Benar. Ada Mbak Kania. Aku tidak bisa melihat dengan jelas dari posisi ini. Yang jelas, Mbak Kania tidak sendirian.
"Mbak, kok nggak ngabarin dulu," kataku sambil berlari ke kamar mandi.
Kubiarkan ponselku tergeletak di atas meja makan. Aku menggosok gigi dan mencuci muka dengan cepat lalu kembali ke kamar.
Aku sempat terkejut saat melihat pantulan bayangan di cermin. Rasanya, aku ingin menangis. Kulihat di sana Rahma yang buruk rupa. Rambut panjang berantakan, wajah kusam, bibir pucat, dan kantong mata yang terlihat hitam. Ya Tuhan! Aku ingin menghilang saja sekarang.
Bel berbunyi. Mbak Kania pasti sedang menunggu jawabanku. Dengan cepat kuoleskan pelembab juga bedak. Tak lupa kusemprotkan parfum di beberapa bagian, berusaha menyamarkan bau ASI dipakaianku.
Kuraih ponsel di atas meja dan dengan setengah berlari menuju pintu depan. Begitu gerbang terbuka, Mbak Kania, Mas Farhan dan Dewi menyambutku dengan senyuman penuh.
"Halo, Mbak Rahma," sapa Mas Farhan dan Dewi secara bersamaan. "Maaf ganggu waktu istirahatnya, ya. Tapi, kami dateng buat bawa kebahagiaan kok. Tenang."
Aku tersenyum mendengar seloroh Mas Farhan. Sebenarnya, aku sedikit heran. Biasanya, Mbak Kania mengajak Dandi—tunangannya yang super tampan dan kaya raya—setiap kali mengunjungiku.
Dandi adalah mantan rekan kerja Mas Hadi yang kini memilih berbisnis. Mas Hadi mengenalkan Dandi dan Mbak Kania lima bulan lalu atas permintaanku.
Namun, aku tidak berani bertanya apa sebab mereka tidak bersama hari ini. Lagi pula, Mas Farhan dan Dewi juga adalah sahabatku. Dan ini juga adalah pertemuan pertama kami setelah lima bulan berlalu.
Melihat mereka, aku merasa malu. Mereka begitu rapi meskipun hanya mengenakan kaus dan celana santai. Mereka juga terus tersenyum seolah tak punya beban. Apakah aku akan terlihat seperti mereka jika belum menikah?
"Heh!" Mbak Kania membuyarkan monologku. "Kita udah lama nggak ngobrol, masak kami nggak diajak masuk?"
Aku tersenyum, sadar jika aku telah membuat mereka bingung. Kubuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan mereka masuk. "Maaf berantakan,"
Kami duduk di ruang tamu dengan suasana yang sedikit canggung. Aku merasa kikuk. Rasa minder dan tidak percaya diri terus saja bergelayut.
"Rahma, suamimu kerja? Kukira dia di rumah." Tanya Mbak Kania tiba-tiba. Aku merasakan sentuhan tangannya di pundak.