Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #9

Paras

Kini, 11 Mei 2019

Masa depan kembali memanggilku. Sebutir air lolos dari sudut mata, mengalir di pipi dan jatuh begitu saja. Air mata menderas seiring kesadaran yang kian utuh. Hening. Tidak ada yang bereaksi. Aku sendirian. Tidak ada yang menungguku di ruangan yang dingin dan sunyi ini.

Lalu, aku mulai merefleksi diri. Aku percaya bahwa kenangan-kenangan yang muncul memiliki ruang tersendiri dalam ingatanku. Memori-memori ini tidak hadir begitu saja.

Aku mungkin terus mengingatnya di alam bawah sadar—bahkan sesekali menyesalinya. Dan momen kelahiran Khoirul adalah titik balik dalam hidupku.

Saat seorang wanita melahirkan, dia tidak hanya menghadirkan seorang bayi dari rahimnya. Tapi, dia juga melahirkan dirinya yang baru.

Aku setuju. Aku lupa siapa yang pernah mengatakan itu, tapi itu terjadi padaku.

Aku melewati masa sulit selepas melahirkan. Kondisi mentalku tidak stabil. Suasana hatiku juga begitu cepat berubah. Dokter bilang itu karena hormon dan akan membaik seiring berlalunya waktu. Aku hanya butuh dukungan dari orang-orang terdekatku.

Salahnya, aku tidak memiliki skill komunikasi yang baik dengan orang-orang di sekitarku. Aku lebih senang memendam segalanya sendirian dan berharap semua segera berlalu. Aku berpikir akan melupakannya besok. Begitulah luka-luka dan rasa lelah itu kemudian menjadi bom waktu.

Sebulan kemudian, kondisiku kembali memburuk. Mas Hadi kembali membawaku ke psikiater dan hasilnya aku mengalami depresi. Aku harus mengonsumsi obat dan Mas Hadi terpaksa mengambil cuti besarnya demi bisa menemaniku sebulan penuh.

Beruntungnya, aku memiliki keluarga yang terus mendukungku. Mas Hadi juga memenuhi permintaanku. Kami memperkerjakan seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengurus pekerjaan rumah.

Namanya Marsinem. Dia adalah mantan ART orang tua Mas Hadi. Bu Mar—begitu kami memanggilnya—orang yang baik. Dia tidak pernah lelah mendengar keluh kesahku. Pekerjaannya sangat luwes. Dia juga banyak membantuku mengurus Khoirul. Dan itu cukup berdampak dalam perbaikan mentalku. Aku seperti punya teman bicara. Perlahan, kondisi psikisku membaik. Aku menjadi ibu dan istri yang bahagia.

Aku berhasil membersamai Khoirul dalam setiap tumbuh dan kembangnya. Momen-momen bahagia bersama Khoirul hadir silih berganti. Hari saat Khoirul melangkah untuk kali pertama, saat dia berlari, kata pertamanya, juga hari pertamanya di playgrup. Kenangan itu hadir serupa bunga yang tumbuh di tandusnya gurun.

Setelah memori acak yang menyakitkan, kenangan itu seperti obat bagiku. Dan kini aku merindukan Khoirul. Sedang apakah dia saat ini? Sudah makankah? Apakah dia tahu aku berada di tempat ini? Berapa kira-kira umurnya sekarang?

Pintu terbuka saat aku mulai menghitung. Seseorang melangkah memasuki ruangan. Tapi, dia tidak mendekat ke arahku. Dia berjalan di sisi kiri ranjang. Orang itu masuk tanpa memberi salam.

Suara derit tirai yang dibuka perlahan terdengar. Cahaya menyilaukan menembus kelopak mata. Akhirnya, setelah beberapa waktu aku kembali merasakan sentuhan mentari di atas permukaan kulit.

Aku baru sadar jika ruangan ini tidak sedingin biasanya. Sepertinya, seseorang sengaja menaikkan suhu pendingin ruangan.

Tak lama setelah tirai terbuka, terdengar suara langkah mendekat. Seseorang mendekati ranjang. Aroma mawar yang intens tercium. Mbak Dara pernah membelikanku parfum dengan aroma serupa. Mas Hadi menyukainya. Jadi, aku beberapa kali membeli Guerlain Rose Cherie sendiri.

Benar. Aku hapal betul aroma floral yang romantis ini.

"Siapa sangka kamu akan berakhir seperti ini, Ama."

Itu memang Mbak Dara. Dia mungkin membawa parfum itu untuk memancing responku. Aku bergeming, tapi pikiranku sibuk sekali. Benar bukan? Aku tidak seharusnya berada di sini sekarang.

Dengan lembut, Mbak Dara meraih rambutku dan menyisirnya. Aku menikmati sensasi yang hadir saat ujung sisir menyentuh kulit kepala. Itu terasa asing sekaligus menggelikan.

Lihat selengkapnya