Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #10

Kota J, 12 Agustus 2015 (Tiga tahun pernikahan)

Kota J, 12 Agustus 2015 (Tiga tahun pernikahan)


"A, ja, ja. Tsa, a, ja. A, ta, ja."

Terdengar suara lantang Khoirul menghapal huruf hijaiyah. Usianya baru tiga tahun, tapi kemampuan menghapalnya sudah cukup baik.

Aku dan Mas Hadi tidak pernah memaksanya belajar. Kami hanya membiasakannya mengaji setiap petang. Kadang bersamaku, sesekali Bu Mar, atau Mas Hadi saat dia sempat. Dan hari ini, Khoirul memilih mentornya sendiri. Dia ingin bersama Bu Mar.

"Bu Mal enggak malah-malah, Mama," ucap Khoirul saat aku menanyakan alasannya ingin mengaji bersama Bu Mar hari ini. Cara berbicaranya yang sok dewasa, berbanding terbalik dengan kemampuan pelafalan huruf r-nya yang belum jelas. Lucu sekali.

"Ibu sueneng pol denger anakmu pinter ngaji, Nduk."

Ibu muncul dari pintu dapur dengan membawa piring berisi potongan aneka buah. Kehadiran Ibu mengalihkan perhatianku dari layar televisi di depan. Kuambil sepotong nanas dan mempersilakan Ibu duduk di sampingku.

"Dia memang lebih baik dari Rahma dalam segala hal, Ibu." Aku tertawa. "Khoirul cuma numpang besar di rahimku, selebihnya mengambil genetik Mas Hadi."

Ibu mengangguk setuju. Rambut ikal kecil-kecil, kulit kecoklatan, mata sipit, juga senyum Khoirul adalah milik Mas Hadi. Semuanya. Tanpa terkecuali.

"Tapi, kamu mewariskan kecerdasan untuknya, Nduk. Kamu tahu? Khoirul selalu mengingatkan Ibu sama masa kecil kamu. Lincah, banyak tingkah dan cerdas."

Aku tersenyum lagi, terkenang bagaimana masa kecilku dulu. Pasti merepotkan sekali. Apa lagi, Ibu mengurus segalanya sendiri. Boro-boro asisten rumah tangga, televisi saja baru terbeli saat aku berusia sepuluh tahun. Selain karena listrik belum masuk desa, kami juga masih berada di bawah garis kemiskinan. Dibanding membeli barang untuk bermewah-mewah, Bapak lebih mengutamakan pendidikan kami. Dan aku sangat bersyukur untuk itu. Jika Bapak dan Ibu tidak memperjuangkan masa depan kami kala itu, mungkin kami tidak akan mengenyam bangku kuliah. Bahkan justru menikah di usia belia.

Meski begitu, kami tetap bisa menonton televisi setiap hari. Setiap malam, Pak Carik mengadakan acara nonton bersama di teras rumahnya. Selepas Isya kami berkumpul di sana, menanti Mas Ari—anak lelaki Pak Carik—selesai mengecas aki. Televisi hitam putih berukuran 14'' menjadi saksi kebersamaan dan kehangatan yang pernah tercipta.

Hari ini, aku menginap di rumah Ibu yang di Kota J. Mas Hadi memintaku menemani Ibu selama dia berdinas ke luar kota.

Rumah ini terbeli setelah lima tahun kami merantau ke Kota J. Tepatnya di tahun keduaku bekerja. Aku dan Mbak Dara bisa sedikit membantu perekonomian keluarga. Rumahnya memang tidak besar. Saat dibeli, rumah ini hanya memiliki satu lantai dengan dua kamar tidur. Kami merenovasinya secara bertahap hingga kini memiliki dua lantai dengan empat kamar.

Sebenarnya, Ibu tinggal di sini bersama Mbak Dara. Sejak Ibu kolaps tiga tahun lalu, kami tidak mengijinkan Ibu tinggal di Kota S lagi. Ibu pergi berkunjung ke sana sesekali saat merindukan Uwa Sumi atau ingin mengunjungi makam Bapak. Tapi beberapa hari terakhir, Mbak Dara sibuk lembur. Dia selalu pulang larut malam dan berangkat kerja pagi-pagi sekali. Begitu mendengar ide Mas Hadi, Mbak Dara langsung setuju.

"Rencana Khoirul mau sekolah di mana, Nduk?"

Aku kembali mencomot mentimun dari piring dan mencocolnya dengan sambal gula merah buatan Ibu. "Aku maunya di sekolah berbasis islami, Bu. Aku sama Mas Hadi sadar masih memiliki keterbatasan ilmu agama."

"Oh, yang boarding school itu, ya. Tapi, mahal lo itu, Nduk."

"Dulu Ibu juga melakukan segala cara agar aku bisa bersekolah di tempat terbaik. Masak sekarang aku nggak, Bu. Kasian dong Khoirul."

Ibu tersenyum.

"Ibu," kataku lirih. "Kalau di pikir-pikir lagi, semua yang aku dan Mbak Dara dapetin sekarang ini semua berkat usaha Bapak sama Ibu. Makasih ya, Bu."

Ibu yang sebelumnya fokus menonton sinetron favoritnya, memalingkan wajah ke arahku. Wajah tampan Evan Sanders di layar televisi tak lagi dia indahkan. Ibu menggenggam pergelangan tanganku dan menggoyangnya pelan. "Nduk, kenapa to? Kenapa tiba-tiba begini."

Kutatap wajah Ibu yang kini dipenuhi keriput. Aku tidak ingin menyesal lagi. Aku akan mengucapkan terima kasih kepada Ibu setiap hari. "Rahma kagum sama Ibu."

Lihat selengkapnya