Kota J, 15 Oktober 2015 (Tiga tahun setelah pernikahan)
"Oke. Boleh minum kopi, tapi kali ini aja."
Aku melempar senyum kemenangan. Akhirnya setelah berdebat panjang, Mas Hadi mengijinkanku minum kopi lagi. Tidak hanya itu, Mas Hadi juga menuruti semua hasrat makanku hari ini.
Berbeda dengan kehamilan pertama, aku merasa segalanya lebih mudah sekarang. Aku tidak mengalami mual berkepanjangan. Aku bisa makan apa saja dan beraktifitas seperti biasa. Sikap Mas Hadi juga berubah drastis sejak mengetahui kabar kehamilanku. Dia terus mendukung dan menemaniku. Mas Hadi terus meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Berkat itu, aku bisa menerima ketetapan ini.
Jika di kehamilan sebelumnya aku merasa Mas Hadi enggan menyentuhku, maka tidak dengan kali ini. Mas Hadi benar-benar menampilkan sisi lain dalam dirinya. Gairah kami meningkat drastis. Intensitas pujian yang Mas Hadi berikan pun terus bertambah. Dan anehnya, aku kembali merasakan debaran yang lama hilang.
Hari ini, kami memutuskan untuk kencan berdua saja. Khoirul kami titipkan di rumah Ibu sejak kemarin sore. Mbak Dara yang libur bekerja, menerimanya dengan senang hati.
Kami menghabiskan pagi untuk melihat matahari terbit di pantai, kemudian berburu sarapan di taman kota. Hangat dan romantis. Rasanya, aku sedang menikmati bulan madu kedua kami.
Sepanjang perjalanan dari taman kota, Mas Hadi terus menggenggam tanganku. Erat sekali. Dia seolah takut aku kabur atau melompat dari jok mobil.
"Mau ke stasiun?" tanya Mas Hadi setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan. Tangannya sibuk memutar tombol di dashboard mobil, lantas berhenti setelah menemukan frekuensi radio yang diinginkan.
Aku mengangguk. "Kedai kopi yang bisa bikin aku jatuh cinta sejak aroma pertama."
"Kalau aku, termasuk ke pria yang bisa bikin kamu jatuh cinta di pandangan pertama bukan, Yang?"
"Wait ... " Aku merasa geli mendengar pertanyaan itu. "Mas, kamu tahu banget aku, 'kan? Cinta pada pandangan pertama itu apa? Nggak ada!"
Mobil terus melaju di jalanan kota. Mas Hadi melepas genggaman tangannya untuk memindah tuas persneling. "Tapi, aku iya, lo. Pasti nggak percaya, 'kan?"
Kutarik ujung bibirku ke bawah. Aku menggeleng tegas. Jelas aku tidak percaya. "Tertarik secara fisik mungkin. But love? I don't think so."
Karena benar aku menyukai penampilan Mas Hadi di hari pertama kita bertemu. Tapi sudah jelas itu bukan cinta. Perasaanku tumbuh seiring waktu berlalu.
"Oh, oke. Aku sederhanain. Jadi, kamu tertarik sama penampilan aku di hari kita ketemu buat kali pertama?"
Aku mengangguk. Kami belum pernah membicarakan ini sebelumnya. "Tapi nggak trus suka gitu aja. Kita ngobrol hari itu. Aku bisa lihat banyak hal dari diri kamu, Mas. Your personality, cara kamu dengerin aku ngomong, hal-hal kecil yang kamu lakuin."
Mas Hadi tersenyum sembari menatapku. Genggaman tangannya kian erat. "Same here. Jarang-jarang aku ketemu cewek yang bisa ngobrolin soal kopi panjang lebar. Aku ngelihat kamu as you. Kamu nggak jaim. Nggak dicantik-cantikin. Biasa aja."
"Aku nggak cantik waktu itu, Mas?"
"Hei! Aku nggak mungkin jatuh cinta sama orang jelek sih, Yang."
Kami tertawa. Lagu Maudy Ayunda featuring David Choi yang berjudul By My Side mengalun sebagai latar belakang.
I just wanna hold you
I just wanna kiss you
I just wanna love you all my life
Suara sumbang kami saling bersahutan. Kenangan-kenangan lama bermunculan. Kencan pertama kami; ciuman pertama kami; perdebatan demi perdebatan; hari saat akhirnya kami memutuskan untuk menikah; wedding proposal Mas Hadi.
I normally wouldn't say this
But i just can't contain it
I want you forever right here by my side
Lagu berakhir tepat saat kami tiba di gerbang masuk stasiun. Mas Hadi memarkirkan mobil di bawah pohon, lalu bersiap turun.