Kota J, 15 Oktober 2015 Malam (Tiga tahun setelah pernikahan)
Aku mengisi gelas dengan air mineral dingin, lantas meminumnya dalam sekali tegukan. Kerongkonganku terasa kering dan wajahku hampir terbakar. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri sekarang. Pikiranku melalang buana. Apa maksud Mas Hadi mengajakku berkencan seharian ini? Untuk menutupi semua masalah yang dia timbulkan?
Kuempaskan tubuhkl di atas sofa ruang keluarga, sementara Mas Hadi menidurkan Khoirul di kamarnya. Sensasi empuk dan lembutnya bisa jelas kurasa. Tapi, itu tidak lantas membuatku merasa nyaman.
Lima menit berlalu. Kulihat Mas Hadi datang menghampiriku dengan segelas air dingin di tangan kanannya.
"Aku sudah minum," kataku sembari menunjuk gelas kosong di atas meja. "Kita perlu bicara sekarang."
Mas Hadi duduk di sampingku. Tidak begitu dekat, tapi aku masih bisa mencium aroma parfum—yang bercampur dengan aroma tubuhnya. Biasanya aku menyukai perpaduan seksi ini. Sayangnya, aku tidak akan membiarkan itu terjadi sekarang.
"Jadi..." Mas Hadi memulai pembicaraan. "Aku harus mulai dari mana, Sayang?"
Terserah kamu, Mas. Aku mengunci mulut rapat-rapat. Mas Hadi menatapku selama beberapa saat, menunggu respon. Tapi, aku bergeming. Urusan demosi dan kuku palsu itu sama gentingnya bagiku.
Helaan napas panjang terdengar sebelum Mas Hadi kembali berbicara. Tangannya sibuk memainkan bibir gelas yang tadi dia bawa, sementara tatapannya tak sedetik pun berpindah dari wajahku. "Kuku palsu yang kamu maksud, apa itu, Ama? Aku bener-bener bingung."
Dengan tangan gemetar, aku mengambil kuku palsu yang tersimpan di dompet. Air mataku sudah tidak terbendung lagi. Seumur hidup, aku belum pernah dikhianati oleh pria yang kucintai. Dan kini, aku menemukan benda milik wanita lain di mobil suamiku—orang yang bahkan sejak pertemuan pertama kami, selalu menunjukan kesetiaannya.
Mas Hadi menatap benda pipih kecil yang kupegang. Dia mengambilnya. "Bukannya ini punyamu, Ama?"
Aku menatapnya tidak percaya. Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Puluhan pertanyaan yang sudah kusiapkan melebur bersama rasa kecewa yang terus berdatangan. Dadaku terasa penuh seperti ingin meledak.
Kukira Mas Hadi kembali berubah. Kukira dia lebih memperhatikanku sekarang. Seperti dulu. Tapi, dia bahkan lupa kapan terakhir kali aku memasang kuku palsu. Itu sudah lama sekali, Mas.
Kini, air mataku kian menderas. Sakit sekali rasanya.
"Ama, tenanglah. Ini bukan punya kamu?" Mas Hadi menggenggam jemariku lembut. Aku menepisnya.
"Aku bahkan masih inget kapan terakhir kali pakai kuku palsu, Mas. Dan bisa dipastikan ini bukan punyaku." Suaraku mungkin terdengar lebih bergetar dari pada yang kurasa. Emosiku tidak terbendung lagi. "Siapa perempuan yang naik mobilmu kecuali keluarga kita, Mas? Perempuan mana?"
Mas Hadi terlihat berpikir. Dia merebahkan tubuhnya di sandaran sofa sambil memijit pelipisnya. "Ah, mungkin itu punya Sandra atau Mila. Kami pergi kondangan dengan mobilku beberapa hari lalu. Besok biar kutanyakan sama mereka, Ama."
Lantas, jika sudah ditanyakan lalu apa? Apakah itu mengubah kenyataan jika seorang wanita pernah duduk di samping kemudi? Tepat di samping Mas Hadi? Tempat di mana aku biasanya duduk?
Aku kenal dengan pemilik nama-nama itu. Mereka adalah anggota Mas Hadi di departemen keuangan. Mas Hadi mengenalkanku pada mereka saat hari pernikahan kami. Dan mereka semua lajang.
Aku menggeleng. Aku hanya ingin tahu pemilik benda ini dan alasannya berada di mobil keluarga kami. Tapi, kini pikiranku bercabang. Kekesalanku merambah ke hal lain.
"Kondangan bersama mereka?"
Mas Hadi berhasil merobek hatiku kembali. Kondangan? Tanpa aku? Jadi, selain demosi dan kuku palsu, ada undangan pernikahan yang tidak kuketahui?
"Tidak hanya mereka, kami pergi berlima dengan Dani dan Rudi."
"Kamu nggak bohong, Mas?"
"Aku nggak pernah bohong sama kamu, Ama. Percaya sama aku."
Aku menghela napas panjang. "Lalu, kenapa kamu nggak ngasih tahu aku soal kondangan itu, Mas? Kenapa kamu nggak ngajak aku? Kamu justru pergi sama teman-teman kamu yang masih lajang. Kamu malu?"