Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #13

Kota J, 20 Oktober 2015 (Tiga tahun setelah pernikahan)

Kota J, 20 Oktober 2015 (Tiga tahun setelah pernikahan)


Cemburu benar-benar melelahkan.

Sejak kejadian malam itu, pikiranku disibukkan dengan asumsi-asumsi liar yang kubuat sendiri.

Jika rekan kerja wanita Mas Hadi begitu luwes merawat diri, bagaimana selama ini dia melihatku? Apakah Mas Hadi melihat rekan kerja wanitanya dengan cara yang berbeda? Bagaimana dia memperlakukan mereka? Bagaimana interaksi mereka saat berada di kantor? Apakah mereka makan siang dan lembur bersama?

Lapis demi lapis pertanyaan memancing pergumulan batinku.

Lalu, pemikiran negatif mulai menggerogoti nalarku. Aku frustrasi dan terus menyalahkan diri. Saat ini, aku merasa tak secantik dulu; ada gelambir di perut, aku mengenakan pakaian seadaanya dan parfum yang berganti jadi aroma minyak telon Khoirul.

"Aku nggak mungkin jatuh cinta sama orang jelek sih, Yang."

Ucapan Mas Hadi terus saja terngiang di kepala. Jika parasku yang membuatnya jatuh cinta, maka tidak menutup kemungkinan dia akan berpaling saat aku tak cantik lagi.

Aku menggeleng keras-keras, mencoba menyingkirkan pikiran konyol itu.

"Rahma, apa sesuatu terjadi?"

Kualihkan pandanganku dari layar televisi di depan ke wajah Ibu yang tengah berbaring di sampingku. "Nggak, Bu. Nggak ada apa-apa."

"Ibu rasa dari tadi pikiranmu ndak di sini, Nduk."

Aku kembali menatap televisi dan baru sadar jika layarnya sudah menampilkan gambar yang berbeda. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan Ibu menggantinya menjadi saluran berita. Sepertinya pikiranku benar-benat kacau.

"Kalau capek, kamu istirahat saja. Ibu baik-baik saja, Nduk. Nanti kalau ada apa-apa, Ibu panggil Bu Mar."

Aku menggeleng lagi. Aku mau menemani Ibu di sini. Dengan begitu, aku bisa sedikit mengendalikan asumsi liar yang berkelindan. Lagi pula, aku memang mau menghabiskan waktu bersama Ibu sebelum sibuk mengurus sekolah Khoirul besok.

"Aku mau nemenin Ibu aja di sini. Beritanya cukup menarik."

Aku memijit lembut kaki Ibu. Permukaan kulitnya terasa hangat, tapi tidak panas. Setelah meminum obat tadi pagi, kondisi Ibu terlihat membaik. Wajah Ibu memang masih pucat, tapi tekanan darahnya mulai turun.

Sejak menerima telepon dari Mbak Dara empat hari lalu, aku memutuskan tinggal di sini untuk sementara waktu. Paling tidak hingga Ibu benar-benar pulih dan emosiku kembali stabil. Meski aku harus bersembunyi di balik wajah palsu setiap hari.

Awalnya, aku menginap bersama Khoirul saja. Tapi dua hari lalu Ibu meminta Mas Hadi tinggal di sini juga untuk sementara. Alasannya, Mas Hadi bisa mengerjakan hal yang tidak bisa dilakukan wanita. Cukup masuk akal sebenarnya, tapi itu berat bagiku.

Selama menginap di sini, Mas Hadi lebih sering tidur di sofa. Ranjang yang ada di kamarku terlalu sempit untuk ditiduri bertiga. Jadi, Mas Hadi mengalah. Dia akan pindah ke sofa setelah semua orang rumah tertidur dan masuk kembali ke kamar saat menjelang pagi.

Mas Hadi mungkin tidak sepenuhnya bersalah. Tapi, harga diriku sebagai seorang istri terluka. Aku benar-benar merasa tidak dianggap—dan cemburu.

Dan aku ingin Mas Hadi merenungi semua itu.

"Ibu istirahat di kamar aja, yuk. Nanti aku minta Mas Hadi mindahin televisi ke kamar Ibu."

Ibu menggeleng lemah. Kulihat sebuah senyuman tersungging di bibirnya. "Rahma, Ibu baik-baik saja. Kalau di kamar, nanti malah Ibu tambah suntuk."

Lihat selengkapnya