Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #14

Duka

Kini, 15 Mei 2019

Aku seperti sedang berjalan dalam labirin.

Aku tersesat; bingung dan terus memilih jalan secara acak. Saat aku merasa sudah hampir tiba di tujuan, kenangan demi kenangan lama hadir membawa kebimbangan. Aku terus memutar di jalan yang sama. Itu-itu saja.

Lalu, saat pintu keluar sudah di hadapan mata, aku justru memilih kembali. Aku belum menemukan jawaban dari perjalanan ini. Dan aku harus mencari—atau aku sudah tahu tapi belum siap untuk menghadapinya.

Entahlah.

Aku terus berputar dan hanya bisa memilih di antara dua pintu: kembali dalam kondisi setengah sadar atau menjelajahi masa lalu secara perlahan dan menemukan alasan keberadaanku di sini.

Lalu kini, otak membawaku berjalan maju. Dingin yang menusuk tulang kembali kurasakan. Ada denyut ngilu di sekujur tubuh. Rasanya seperti memar bekas pukulan. Aroma obat yang kuat dan familiar menguar dari lambungku. Aku bahkan bisa merasakan sebuah kain yang membebat pergelangan tangan kanan dan kiri.

Tidak seperti biasanya, ada perawat yang menungguku sejak semalam. Mereka bergantian menemaniku. Para perawat itu bahkan mengajakku bicara. Mereka membawakanku kabar berita seperti pewarta. Dari mereka, aku tahu di luar sedang hujan, panas, mendung, atau bahkan badai. Aku juga tidak ketinggalan berita yang tengah hangat diperbincangkan.

Namun, itu tidak penting.

Aku mungkin menggila sejak kenangan tentang kepergian Ibu hadir bertandang. Kenangan itu membuatku ingin mati saja. Aku putus asa dan tidak berdaya. Penyesalan memenuhi hatiku.

Seandainya aku menemani Ibu saat itu. Apakah aku bisa menyelamatkannya? Atau jika memang Tuhan ingin merenggut Ibu dariku, seharusnya Dia membiarkanku melihat Ibu di saat terakhirnya.

Harusnya begitu. Tapi, aku justru sibuk dengan urusan pekerjaan rumah yang tak seberapa penting dan meninggalkan Ibu sendirian di kamar. Dan kini, Tuhan membawaku pergi ke momen itu lagi.

Sayang sekali, kenangan itu hanya bisa diputar ulang. Aku tidak punya kuasa untuk mengedit atau bahkan mengubahnya.

Bagiku, ini adalah hukuman dari Tuhan.

Entah sudah berapa lama aku terjaga. Sepuluh jam, dua belas jam, atau bahkan seharian penuh. Shift jaga para perawat terus berubah, tapi aku masih dengan kondisi yang sama. Ingatan-ingatan itu juga belum kembali seutuhnya.

Aku terjebak di tempat yang sama. Satu-satunya pintu yang terbuka saat ini adalah pintu yang membawaku menuju momen kepergian Ibu. Dari sana, aku bisa melihat hari di mana Ibu dikebumikan; pusaranya, rumah kami di Kota S, peristirahatan Bapak, Uwa Sumi yang terus menangis hingga pingsan, juga perjalanan pulang ke Kota J yang diwarnai air mata.

Kepergian Ibu juga menjadi pukulan keras bagi Khoirul. Kedekatan mereka justru menjadi bumerang bagi kami. Khoirul merajuk hingga mogok makan selama berhari-hari hingga dia dehidrasi. Kami harus membawanya ke rumah sakit dan dia dirawat selama sepekan.

Aku yang juga kehilangan, menguatkan diri agar bisa terus berdiri. Aku tidak punya waktu untuk lama-lama berduka. Demi Khoirul dan bayi dalam kandunganku.

Aku sangat merindukan Ibu. Itu kenyataan terpahit saat ini. Tidak peduli betapa rasa nyeri memukul-mukul kepala dan rasa mual mengaduk lambungku.

"Mita, ini saatnya kamu pulang. Terima kasih atas kerja kerasnya. Selamat beristirahat."

Seseorang masuk dan langsung berjalan mendekat. Perpaduan aroma citrus dan mawar yang dominan memenuhi ruangan, lalu menusuk penciumanku. Aku berharap ini hanyalah parfum murahan yang segera pudar dan ruangan kembali steril. Aroma ini sungguh memuakkan.

"Selamat berjaga, Mbak. Mbak sudah sarapan?"

Seseorang beraroma citrus itu memeriksa infus dan menyuntikkan sesuatu lewat selangnya. Aku bisa merasakan tangannya yang lembut melepas kain yang membebat pergelanganku. Lantas, dia mengangkat pergelangan tanganku dan sensasi dingin mulai menjalar ke vena.

"Ada menu nasi goreng pedas di kantin rumah sakit hari ini, Mit. Kamu harus coba. Aku tadi dari sana lalu menghabiskan setengah jam di kamar mandi."

Lihat selengkapnya