Kota J, 16 Juli 2017 (Satu Tahun Setelah Melahirkan Awan)
"Berat badan awan kurang, Mam. Sudah dua bulan ini berat badannya naik tidak sesuai target. Segera bawa ke dokter, ya."
Seorang kader posyandu membenarkan kekhawatiranku. Selama ini, aku denial. Kuanggap berat badan Awan susah naik karena aktifitasnya kini sudah lebih banyak. Kuabaikan omongan serta cibiran orang-orang tentang putra bungsuku. Kututup telinga rapat-rapat, berharap tidak mendengar segala perkataan buruk yang menjatuhkan mentalku.
Sejak melahirkan anak kedua, aku memang menjadi lebih perasa. Hal kecil saja bisa membuat hatiku terluka. Aku sering berkecil hati hanya karena orang bilang, "Kamu mah nggak pinter bikin anak. Ayok coba lagi biar dapet anak cewek. Nanti aku kasih tipsnya."
Lantas, kenapa jika anakku semua berjenis kelamin lelaki? Apakah itu membuat mereka menjadi lebih baik jika memiliki anak berjenis kelamin perempuan dan laki-laki? Ibuku hanya memiliki dua anak perempuan, tapi dia berhasil mendidik dan membesarkan kami dengan baik.
Akhir-akhir ini, mereka justru sibuk menggunjingkan hal lain yang membuatku enggan pergi keluar rumah jika tidak ada urusan mendesak. Perkara pakaian dan penampilan anak saja jadi bahan gunjingan.
Awan kurusan; Awan berbeda dengan Khoirul; Awan sepertinya penyakitan; Jarak kelahiran mereka terlalu dekat; Rahma tidak bisa mengurus anak.
Sebelumnya, berat badan Awan sangat bagus. Pertumbuhannya sesuai kurva yang ditargetkan. Tapi, akhir-akhir ini grafiknya melandai dan cenderung turun.
Pikiranku kacau.
Kalimat-kalimat itu sepertinya menjadi isu penting di komplek perumahan kami. Mereka sibuk menilai kami dan menghakimiku. Mereka seolah menutup mata pada kenyataan jika semua ibu ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka. Termasuk aku.
Untungnya, para kader posyandu di komplek kami bisa memberitahu tanpa menghakimi.
Wanita berseragam hijau muda itu membuka halaman di buku KIA. Suara halaman buku yang terbuka membawa kembali fokusku yang sempat terpecah.
"Harusnya dia naik enam ons dua bulan ini, tapi berat badan Awan hanya naik dua ons. Belum lagi bulan sebelumnya dia sakit hingga berat badannya turun."
Aku menunduk dalam. Kutatap wajah Awan yang sedang terlelap dalam dekapanku. "Dia susah makan, Bu. Sejak sakit kemarin, dia jadi lebih banyak menyusu dan sedikit makan."
"Harus ke dokter ya, Mama. Dikhawatirkan ada sesuatu yang membuat anak Mama susah makan. Biar bisa dicari penyebabnya."
"Biasanya, apa yang membuat anak jadi seperti itu ya, Bu?"
"Banyak faktor, Mam. Tapi, seharusnya anak seusia Awan sudah berkurang frekuensi menyusunya. Asupan utamanya dari makanan padat. Bukan ASI lagi."
"Baik, Bu. Terima kasih. Kami akan segera berkonsultasi dengan dokter."
Aku beringsut pergi dari meja konseling. Mataku mengitari halaman puskesmas untuk mencari keberadaan mobil kami. Tapi, mataku justru menangkap pemandangan yang ganjil.
Di luar sangat terik. Sinar matahari begitu menyilaukan. Tapi, penglihatanku pasti tidak salah.
Jauh dua puluh meter di depan sana, Mas Hadi tengah mengobrol asyik dengan seorang perempuan berambut cokelat panjang. Rok mini yang tingginya di atas lutut cukup menggangguku. Rambut pirangnya yang panjang bergoyang tertiup angin. Wajahnya seperti tidak asing bagiku.
"Mama!" Khoirul berlari ke arahku begitu menyadari ibunya tengah berdiri mematung di halaman kantor desa. "Ayo kita pulang!"
Aku berjalan mengikuti langkah kecil Khoirul. Kakinya melompat-lompat kegirangan. Tangannya masih menggenggam pergelanganku. Dari jauh, Mas Hadi melambaikan tangannya ke arah kami. Wanita yang bersamanya ikut menoleh. Benar. Itu Feby. Mantan kekasih Mas Hadi sebelum bertemu denganku. Dari yang pernah kudengar, dia adalah seorang dokter.
Aku tidak salah lihat. Pantas saja aku merasa tidak asing dengan gestur dan wajahnya. Kami pernah bertemu sekali secara tidak sengaja di stasiun saat aku menemani Mas Hadi berdinas ke Kota T beberapa tahun lalu.
Feby masih terlihat sama dari segala sisi. Satu-satunya yang berbeda hanya bentuk hidungnya yang kian lancip dan tinggi. Mungkin dia sudah melakukan operasi atau filler di bagian hidungnya.
"Halo, Ama. Apa kabar?" sapa Feby ramah. Tangannya yang dihiasi kuku palsu terulur. Cantik sekali.
Sebenarnya, aku benci caranya memanggilku. Intonasi yang dia gunakan sama seperti cara Mas Hadi melakukannya.
Aku membalas uluran tangannya. "Halo, Feb. Aku baik. Kamu apa kabar?"
"Aku merasa baik, Ama." Feby mendekatkan wajahnya ke arahku. Matanya berbinar saat melihat Awan yang masih terlelap dalam dekapanku. "Aku masih mau ngobrol banyak sama kalian. Tapi, sepertinya jam istirahatku sudah habis."
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku spontan. Tidak mungkin kalian sengaja bertemu, 'kan?
"Aku bekerja di Rumah Sakit M dekat sini. Kamu bisa ngubungin aku kalau perlu sesuatu," katanya sembari memberikan selembar kartu nama. Febyola Widjaya, Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit M, serta ekstensi teleponnya tertera di sana. "Ada nomor HPku di sana, Ama. Langsung telepon ke nomorku aja kalau urgent."
Feby pergi setelah membalas ucapan terima kasihku. Mercedes-Benz keluaran terbaru membawanya menjauh dari tempatku berdiri, sementara kami justru masuk ke mobil sedan tua yang terkadang pendinginnya tidak menyala. Kontras sekali.