Kota J, 02 September 2017
"Gimana? Hadi mau nerima tawaran pekerjaan itu?"
Mbak Kania yang sejak tadi sibuk menceritakan rekan kerja barunya, tiba-tiba mengubah haluan topik pembicaraan. Mata bulatnya menatapku lekat, menunggu jawaban.
Aku menyesap kopi panas dari dalam cangkir secara perlahan. Kunikmati perpaduan aroma kopi dan rempah yang begitu khas.
Pagi ini, kami pergi ke Kedai Kopi Mak Nik bersama. Anak-anak dijemput Mbak Dara kemarin sore, jadi aku punya waktu luang untuk diri sendiri. Mas Hadi juga—seperti biasa—harus lembur di akhir pekan. Dan kebetulan, Mbak Kania mengajakku ke tempat ini.
"Katanya mau mempertimbangkan dulu, Mbak. Entahlah. Dia masih saja meninggikan egonya. Padahal apa salahnya sekali-kali mengandalkan bantuan orang terdekat."
Mbak Kania tersenyum. "Rahma, pikiran pria itu jauh lebih rumit dari pada kita. Kaum yang konon katanya paling rumit sedunia ini. Padahal, pride dan ego mereka lebih tinggi."
Mbak Kania benar. Seratus persen benar. "Aku masih belum ngerti kenapa dia nolak tawaran mutasi ke Pulau K bahkan kalau gajinya nggak nambah pun, aku nggak masalah."
Tiba-tiba Mbak Kania tersedak dan memuntahkan kopi dari dalam mulutnya. Dia terbatuk beberapa kali membuat kemeja putihnya berantakan.
"Sori," ucapnya setelah berhenti terbatuk.
Aku tidak mengerti kenapa Mbak Kania meminta maaf. Kucoba menelaah kembali kalimat yang tadi kuucapkan. Barang kali ada yang salah hingga membuat Mbak Kania tersedak keras. Tapi, aku rasa memang tidak ada yang salah.
"Rahma, are you okay?" tanya Mbak Kania dengan intonasi suara yang rendah. "Maksudku kondisi kamu saat ini."
"Kondisi keuangan dan rumah tangga kami nggak seburuk itu, Mbak. Aku mungkin harus sedikit menahan diri buat nggak belanja berlebihan dan mangkas pengeluaran sana sini, tapi sejauh ini kami oke."
Pada akhirnya, mungkin orang lain hanya akan menaruh belas kasihan kepadaku. Rahma yang dulu gemilang, IPK nyaris sempurna, meraih puncak karier di usia belia, hingga mendapatkan Hadi sebagai suami ideal setiap wanita, kini hanya jadi ibu rumah tangga—sebuah profesi yang kerap dipandang sebelah mata. Aku tak berpenghasilan, tak berdaya, berpenampilan apa adanya, bahkan kini sedang diuji dari segi ekonomi.
Jadi, aku tidak ingin menceritakan lebih jauh soal masalah rumah tangga kami. Aku takut orang-orang akan mengejekku.
"Lalu, apa rencana kamu ke depan? Kamu nggak kepikiran buat kerja lagi?"
Aku tersenyum. "Aku frustrasi setiap hari, Mbak. Ada saat di mana aku bosen di rumah seharian, suntuk, mood berantakan, lalu aku mencari info lowongan pekerjaan di internet. Nggak cuma itu, aku bahkan nyiapin berkas, memikirkan pakaian apa yang layak kukenakan saat melakukan test dan wawancara nanti."
Mbak Kania masih mendengarkan. Dia tidak memalingkan wajahnya sedetik pun dariku.
"Tapi, satu jam kemudian aku menangis pas lihat wajah anak-anak. Gimana aku bisa ninggalin mereka sama orang lain, Mbak? Aku aja yang ibunya sering kesulitan mengontrol emosi. Apa lagi orang lain."
"Itu perasaan yang rumit ya, Ma."
Sangat rumit. Aku sering frustrasi dan lelah dengan pergumulan perasaanku sendiri. Setiap hari, perasaan tidak berdaya membayangiku.
"Aku ingin kerja dari rumah aja, Mbak. Ini lagi mau belajar jualan online. Buka toko di marketplace. Aku belajar sama Mbak Dara yang udah beberapa bulan juga mulai usaha jualan online. "
"Itu sebabnya kamu mau ketemu dia hari ini, Ma?"
Aku mengangguk lagi. "Sekalian jemput anak-anak."
"Aku berharap dan selalu mendoakan semoga selalu seperti itu ya, Ma. You deserve the happiness."
Kalimat yang Mbak Kania ucapkan terdengar tulus. Kalimat itu, meresap dalam dan kuaminkan di hati. Aku juga selalu berterima kasih kepada Tuhan karena menghadirkan sahabat sebaik Mbak Kania dalam hidupku. Meskipun jarang bertemu dan bertukar kabar, hubungan kami sama sekali tidak berubah.