Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #18

Kota S, 20 Desember 2017 (Rencana Ziarah)

Kota S, 20 Desember 2017 (Rencana Ziarah)

"Kalau Ibu masih ada, pasti rame banget ya, Mbak," ucapku lirih. Kulirik Mbak Dara yang tengah memainkan ponselnya di sisi kanan ranjang.

Rencana ziarah ke makam Bapak dan Ibu hari ini gagal total. Hujan terus mengguyur Kota S sejak siang tadi. Pergi jalan-jalan atau menjenguk Uwa Sumi di panti jompo pun tidak memungkinkan. Jadi, kami memilih masuk kamar lebih awal.

Kami tiba di Kota S tadi siang dengan kereta. Mas Hadi harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum menyusul dan mengambil cuti selama beberapa hari. Satu jam lalu, Mas Hadi memberi kabar jika dia sudah berada di perjalanan. Tapi, dia belum tiba hingga sekarang.

Mbak Dara meletakkan ponselnya di samping kepala, lalu meringkarkan lengannya ke tubuh Awan yang sudah terlelap. "Ibu pasti sering kelelahan momong dua cucu super aktif ini."

Aku tersenyum. Pandanganku jatuh pada gantungan baju tua yang ada di balik pintu kamar. Sebuah gantungan baju yang terbuat dari kayu dan diukir sendiri oleh Bapak saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Dulu, Ibu sering marah jika kami menggantung terlalu banyak baju di sana. Kami akan buru-buru membereskannya untuk kemudian mengulanginya lagi.

Dan kini, aku tahu rasanya jadi Ibu. Aku bisa mengomel sepanjang hari hanya gara-gara Mas Hadi menggantung baju yang dipakainya sebentar atau handuk basah di belakang pintu.

"Rumah ini nggak pernah berubah."

"Bener, Ama. Selain warna cat yang terlihat baru, segalanya masih sama."

Benar. Rumah ini sama sekali tidak berubah. Kami memang mengecat ulang seluruh bagian rumah—masih dengan warna cat yang sama seperti sebelumnya. Aku meminta tukang kayu khusus untuk memperbaiki pintu, kusen, serta jendela yang lapuk dimakan rayap. Aku juga membayar orang untuk membersihkan jamur yang muncul di dinding dapur dan kamar mandi. Tapi, aku sama sekali tidak ingin mengubah bentuknya.

Rumah ini, masihlah rumah tua bergaya vintage dengan tiga kamar tidur utama. Satu memiliki kamar mandi di dalam, sementara dua yang lain tidak. Bapak pernah bilang bahwa gaya rumah ini tidak akan pernah lekang oleh waktu. Zaman terus berputar, dan gaya ini akan kembali digemari. Itu terbukti.

Rumah kami memiliki banyak pintu dan jendela. Sinar matahari bisa masuk dari segala sisi. Dinding rumah yang tebuat dari kombinasi beton dan kayu, membuatnya terlihat unik berada di antara rumah lain.

Hingga sekarang, aku masih menyukai pekarangan di depan dan belakang rumah kami meski tak lagi ditumbuhi bunga-bunga indah seperti dulu.

"Awan masih terapi, Ama?"

Pertanyaan Mbak Dara memecah lamunanku. Aku menatap wajah Awan yang terlelap di sampingnya, lantas mengangguk.

"Dia harus melewati serangkaian pengobatan enam bulan ke depan. Tapi, kondisinya membaik. Berat badannya perlahan naik dan nafsu makannya semakin bagus sejak konsumsi obat."

Diagnosa Awan sudah ditegakkan. Akhirnya, setelah melewati serangkaian proses yang panjang, kami mulai menemukan titik terang.

Tidak sedikit biaya yang sudah kami keluarkan demi mendapat jawaban yang gamblang. Tes darah, alergi, urin, feses, test mantoux(1), hingga rontgen paru sudah kami lakukan. Hasilnya, Awan positif TB tanpa gejala. Jadi, Awan harus menjalani pengobatan dan kontrol rutin selama enam bulan ke depan.

"Anak hebat," ucap Mbak Dara lirih disusul kecupan lembut di kening Awan.

Aku mengangguk lagi. Bukan hanya aku dan Mas Hadi yang berjuang selama ini. Tapi, Awan juga.

"Mbak, makasih udah banyak bantuin kami, ya."

"Aku nggak bantu apa-apa, Ama."

"Mbak Dara sering kurepotin buat jaga Khoirul saat Awan harus kontrol atau berobat. Mbak Dara juga bantu aku ngelunasin sisa pembayaran test Awan."

"Ama,—"

Ponsel Mbak Dara berdering sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Dalam satu gerakan, Mbak Dara menekan tombol dan Iphone miliknya berhenti bersuara. Mbak Dara buru-buru bangkit dari posisi tidurnya. "Kita ngobrol lagi besok, ya."

Mbak Dara baru saja melangkah saat aku meraih pergelangan tangannya.

"Kapan Mbak mau cerita soal dia?" tanyaku sambil melirik ke arah ponsel yang terus bergetar.

Tanpa harus ada yang memberitahu, aku bisa dengan mudah membaca perubahan sikap Mbak Dara. Akhir-akhir ini dia menjadi lebih periang. Dia tidak lagi cukup menyapu wajahnya dengan riasan tipis seperti biasa. Mbak Dara juga mulai membeli barang-barang dari brand ternama; sepatu, tas, ikat rambut, sandal, hingga jam tangan.

Dan yang paling tidak bisa disembunyikan adalah senyuman di bibirnya acap kali menatap layar ponsel.

"Lain kali ya, Ama. Kalau aku udah siap." Mbak Dara mengedipkan mata sambil lalu. Dia sempat melambaikan tangan dan memberi isyarat untuk tidur sebelum menutup pintu.

Sungguh. Aku turut berbahagia dan tidak sabar menanti cerita-cerita dari Mbak Dara.

Malam merambat naik. Suara jangkrik, katak, dan tongeret mengantarku pada ingatan-ingatan lama saat kami masih tinggal di rumah ini. Pilu kian menyayat hati. Mata seperti enggan terpejam hingga pada akhirnya air berguguran dari ujungnya. Ada film yang terputar di kepalaku terus menerus sejak tiba di rumah ini siang tadi.

Aku merindukan Ibu dan Bapak. Dan jika sudah begini, pikiranku akan jadi berlebihan.

Aku berjalan ke dapur untuk mengambil air dingin. Aku sempat berhenti di depan kamar Mbak Dara dan melihatnya sedang asyik bertelepon. Kurapatkan pintu agar suaranya tidak bocor keluar, khawatir Mbak Dara merasa privasinya terganggu.

Lihat selengkapnya