Kota J, 05 Februari 2018 (Hari Saat Khoirul Sakit)
Sudah lewat tengah malam, tapi mataku masih enggan terpejam.
Cucian piring menumpuk, mainan anak-anak memenuhi seluruh bagian rumah, dan setrikaan tetangga belum sempat kuselesaikan. Aku juga belum sempat memeriksa stok produk di toko online-ku.
Namun, aku justru sibuk menggulir layar ponsel dan berselancar di media sosial. Sudah satu jam berlalu sejak kali pertama aku mulai mengulik informasi teman-teman di sana satu per satu. Mulai dari teman kerja, kuliah, SMA, hingga tetangga sekitar.
Kulihat mereka begitu bangga memperlihatkan segala pencapaian; profesi, kendaraan pribadi, rumah aesthetic, anak-anak yang sukses, sekolah anak yang mentereng, foto-foto saat naik haji, jalan-jalan ke luar negeri, hingga tanah pekuburan yang dipesan jauh-jauh hari.
Dan aku tidak memiliki satu pun dari semua itu.
Rumah tanggaku terasa hambar. Ekonomi kami morat-marit. Kendaraan pribadi? Aku sudah merasa begitu kaya hanya dengan memiliki sebuah sedan tua keluaran tahun 90an. Boro-boro jalan-jalan ke luar negeri, biaya sekolah Khoirul saja masih kucicil hingga hari ini.
Aku mematikan daya ponsel dan beranjak tidur. Terlalu lama bermain ponsel membuat kewarasanku terjun bebas. Aku terus membandingkan diriku dengan orang lain hingga lelah sendiri. Emosiku naik turun. Kadang aku merasa cemas untuk sesuatu yang sederhana. Tidak jarang tanganku berkeringat dan tubuhku bergetar. Tapi, aku melakukannya lagi dan lagi.
Hari ini, tubuhku lelah sekali dan pikiranku berantakan. Aku ingin sekali percaya bahwa hubunganku dengan Mas Hadi saat ini baik-baik saja. Tapi, nuraniku berkata sebaliknya.
Kuku palsu yang kutemukan di dashboard mobil terus menggiring asumsi dan imajinasi negatifku.
Mas Hadi berubah. Banyak hal yang hilang dari dirinya akhir-akhir ini. Kesibukannya bahkan membuat kami menjadi jarang bertukar kabar. Kami hanya berkomunikasi sesekali, saat ada hal mendesak terjadi.
Aku juga tidak tahu ke mana Mas Hadi pergi usai perdebatan kami di Kota S malam itu. Dia tidak menghubungiku berhari-hari. Kami kembali bicara setelah tiba di Kota J, sepuluh hari setelahnya.
Itu pun, kami sama-sama bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Mas Hadi tetap enggan menyelesaikan masalah kami. Meski jika boleh jujur, hatiku hancur sekali. Ada perasaan meledak-ledak yang tak dituntaskan dengan semestinya. Dan ini membuat hubungan kami kian berjarak.
Kami masih tinggal serumah, melakukan beberapa aktifitas bersama, menjaga anak-anak, makan, bahkan masih berhubungan suami-istri seperti biasa. Bedanya, tidak ada lagi pillow talk apa lagi foreplay sebelum Mas Hadi melakukan aktifitas itu. Dan itu menyakitkan bagiku. Kurasa, hanya dia yang menikmati hubungan, sementara aku justru sibuk dengan pergumulan batin sendiri.
Obrolan kami pun sering kali berujung pertengkaran hebat. Jadi, kujadikan diam sebagai peredam api dalam rumah tangga kami. Tidak apa-apa meskipun aku harus terluka. Tidak apa-apa asal Mas Hadi tetap pulang dan membersamai anak-anak.
"Mama, cakit."
Aku beringsut bangun saat terdengar suara Khoirul dari arah pintu. Dia menghampiriku, lantas duduk di ujung ranjang. Kupegang dahinya. Panas sekali.
Aku membawa Khoirul dalam gendongan dan buru-buru mencari obat di lemari pendingin. Kosong. Dengan lembut, kutidurkan Khoirul di samping Awan.
"Tunggu sebentar, Sayang."
Kuambil ponsel di atas nakas, lalu mencoba menghubungi Mas Hadi. Dia belum pulang dan nomornya juga tidak bisa dihubungi. Padahal, sudah menjelang dini hari. Sekali, dua kali, aku tetap gagal menghubungi Mas Hadi.
"Tolong angkat, Mbak," gumamku saat mencoba menghubungi Mbak Dara. Tapi, sama saja. Tidak ada respon yang kuterima.
Ini sudah larut sekali. Mbak Dara pasti sudah terlelap sejak tadi. Dia biasa menggunakan mode senyap saat istirahat.
Khoirul terus merintih, badannya juga menggigil hebat. Aku kian panik dan tidak tahu harus berbuat apa.
Aku baru saja akan mengambilkan kompres saat badan Khoirul mulai kejang. Kulihat kaki, lengan, bahkan seluruh tubuhnya menyentak dengan berirama. Dan itu terjadi sekitar tiga puluh detik.
Dengan cepat, kusingkirkan bantal dan selimut yang ada di dekat Khoirul. Kumiringkan badan Khoirul hingga wajahnya sempurna menghadap ke arahku yang terduduk di samping ranjang.
"Sayang, bisa denger Mama?"
Khoirul mengangguk. Dia berusaha keras membuka mata sipitnya demi bisa menatapku. Dan ini adalah pemandangan yang paling memilukan.
Kini, air mataku sempurna menderas. Hatiku hancur sekali melihat Khoirul seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu sebelum segalanya terlambat.
"Bagus! Tunggu Mama, ya."
Aku tidak yakin Khoirul bisa mendengarku dengan jelas. Ucapanku lebih terdengar seperti bisikan karena suara yang tercekat di kerongkongan.
"Mama, Papa mana?"
Pertanyaan Khoirul menghentikan langkahku. Aku sempat menatapnya sejenak sebelum kembali melangkah.