Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #20

Mimpi

Kini, 17 Mei 2019

Duniaku berubah jadi neraka. Langit terus terlihat mendung dan jalanan menjadi basah. Hingga sesekali aku harus terpeleset lantas jatuh.

Hari-hariku dipenuhi nestapa. Aku terlena pada sesuatu yang sementara dan tanpa berpikir panjang mengambil keputusan-keputusan bodoh.

Aku merasa diriku yang lama sangat egois dan idealis. Bukankah aku seharusnya lebih mendengarkan Mas Hadi?

Aku ingat bagaimana hari-hari yang harus kulalui setelah Khoirul keluar dari rumah sakit tiga hari kemudian. Kondisinya naik turun. Dia bisa tiba-tiba demam saat malam, tapi terlihat sehat di siang hari. Dokter menyarankan untuk melakukan test darah ulang dan hasilnya semua baik.

Terakhir, Khoirul bahkan mengeluhkan sakit perut hingga mual muntah. Dokter melakukan segala cara untuk mengetahui sakitnya hingga akhirnya dia dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan. Dari USG, X-ray, hingga kolonoskopi(2), akhirnya diagnosis bisa ditegakkan. Khoirul mengidap usus redundant(3) dan harus segera dilakukan operasi karena gejalanya sudah mengganggu pertumbuhan.

Khoirul dioperasi seminggu kemudian. Dan aku membiayai semuanya dengan sisa uang tabungan—serta pinjaman online yang sempat kuambil. Asuransi Mas Hadi tidak bisa meng-cover biaya rumah sakit dan operasi Khoirul karena sakitnya dianggap kelainan genetikal.

Selama menjalani semua proses itu, Mas Hadi menemaniku tanpa banyak bertanya. Dia menuruti semua mauku. Tapi, aku justru merasa sesuatu yang besar sedang terjadi. Kami sama sekali tidak baik-baik saja hanya karena kami tidak lagi bertengkar hebat seperti sebelumnya. Diamnya justru menyiksaku. Fisik dan mentalku diuji habis-habisan.

Tidak hanya lelah secara mental dan fisik, isi dompet pun kembang kempis. Sejak merawat Khoirul yang sakit juga pengobatan Awan, aku tidak sempat mengurus toko online dan mengerjakan laundry di rumah. Perekonomian kami morat-marit. Pinjaman online yang kuambil pun pada akhirnya tidak sanggup kucicil.

Namun, dari sekian banyak ingatan menyakitkan yang bertandang, tidak satu pun memberiku jawaban.

Aku masih belum mengetahui alasan keberadaanku di tempat ini. Sekeras apa pun aku berusaha, ingatan yang muncul belum juga membawaku ke sana. Aku seperti tengah membaca buku lama yang pernah kutulis. Aku mengeja kembali rentetan kisah panjang hingga tiba di halaman yang tidak bisa terbuka.

Tidak. Halamannya bukan tidak bisa terbuka. Tapi, aku belum bisa membukanya.

Aku seperti komputer usang yang rusak. CPU-ku terus dijejali dengan ingatan menyakitkan hingga penuh dan nyaris meledak. Layar akan menjadi gelap dan keyboard tak lagi berfungsi saat aku tak bisa menahan banyaknya kesakitan.

Lalu, mesin waktu akan membawaku kembali ke masa depan. Di ruangan dan situasi yang sepertinya masih sama.

Apakah aku nyaris mati karena seseorang mencoba menyakitiku? Ataukah aku lompat dari lantai tiga kamar rawat inap Khoirul?

Tidak. Aku ingat sekali Mbak Dara memelukku dan mengatakan segalanya akan baik-baik saja tepat saat pemikiran gila itu muncul di kepala.

Aku tidak boleh mati lebih dulu. Aku harus membesarkan kedua putraku.

"Bagaimana kondisinya?" Seorang pria bersuara berat bertanya kepada entah siapa.

"Masih belum stabil, tapi ini sudah jauh lebih baik, Dok."

Lihat selengkapnya