Kota J, 24 Agustus 2018
TOLONG LUNASI HUTANGMU ATAU KAMI AKAN MENYEBAR SEMUA INFORMASI PRIBADIMU.
Sebuah pesan singkat yang diiringi spam telepon masuk tepat saat aku menginjakkan kaki di lokasi job fair Kartika Expo Balai K.
Sudah seminggu belakangan, pesan serupa memenuhi ponselku. Pesan-pesan ancaman itu terus dikirim meski aku mengabaikannya.
Dan kini, pesan itu memantapkan langkahku. Harapan baru muncul setelah semalaman penuh aku mencoba mengais sisa rasa percaya diri yang kumiliki. Hari ini tekadku terisi penuh. Kukubur dalam-dalam keraguan yang terus bertandang.
Aku sudah memikirkan segalanya; sekolah Khoirul; menitipkan Awan di day care; memperbaiki hubunganku dengan Mas Hadi setelah ini.
Papan penanda dan banner dipajang di depan pagar hingga pintu masuk: Garuda Job Fair - The Path of Future.
Aku melihat ratusan manusia hadir dan memenuhi halaman Balai K yang luas. Kebanyakan dari mereka adalah anak muda. Mungkin, mereka adalah pencari kerja yang baru menyelesaikan pendidikan sarjananya. Mereka juga mungkin sama gemilang dan pintarnya denganku dahulu.
Menyadari itu, langkahku terhenti. Aku mundur beberapa langkah dan kemudian sadar kembali.
Kupeluk paper bag yang berisi map berkas lamaranku. Tak hanya satu. Aku bahkan membuat sepuluh sekaligus.
Aku harus bekerja lagi. Tidak ada jalan lain. Pinjaman online yang kuambil selama ini justru memperkeruh keadaan. Aku terus berputar di lingkaran yang sama; mengambil pinjaman baru untuk melunasi yang sebelumnya.
"Selamat datang, Ibu," sapa salah seorang yang berdiri tepat di samping pintu masuk. "Silakan masuk ke stan yang Ibu tuju. Semoga beruntung, ya."
Aku mengangguk sopan. Lalu, ikut berbaris dan mengantre untuk mengisi data pendaftaran.
Kuayunkan langkah menyusuri satu demi satu stan dengan papan penanda perusahaan di kiri dan kanannya. Kubaca informasi yang tertera di banner setiap perusahaan dengan seksama. Lalu, berhenti saat mataku berhasil menangkap lowongan pekerjaan yang sesuai dengan background keilmuan serta pengalaman kerjaku.
"Ada yang bisa kami bantu, Ibu?" tanya seorang perempuan dari stan bank pemerintah sembari menyerahkan selebaran yang berisi informasi persyaratan lengkap dan mendetail. "Silakan dibaca, Ibu. Jika berminat, silakan isi form dan serahkan berkas lamarannya kepada rekan kami."
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum berlalu untuk mencari tempat duduk. Jantungku berdegup kencang. Ini adalah kali pertama aku mengikuti perekrutan semacam ini. Dulu, Bank Mahardika memperkerjakanku bahkan sebelum lembar ijazah kuterima.
Sejak lulus, aku belum pernah merasakan sulitnya mencari kerja. Dan kini, aku harus berjuang dengan ratusan pelamar lainnya.
"Ibu Rahma?"
Seseorang menyenggol lenganku. Aku refleks menoleh ke arah sumber suara dan melihat Sandra dan Mila berdiri dengan seragam perusahaan—yang sama dengan milik Mas Hadi—tepat di belakangku.
"Oh, Halo. Kalian sedang?"
Aku mencoba menerka tentang tujuan mereka ada di tempat ini. Apakah karena sedang mencari pekerjaan sepertiku? Atau....
Sandra menjawab lebih dulu. "Kami dapet tugas bantuin Pak Hadi jaga stan buat job fair. Ibu sedang nyari Bapak?"
Otakku terus bekerja menerka segala kemungkinan. Mas Hadi sedang ada di tempat ini? Kenapa dia tidak memberitahuku? Apa yang harus kukatakan kepada Sandra dan Mila?
"Nggak. Saya hanya sedang berjalan-jalan di sekitar sini, lalu mampir," dustaku. Aku tidak mungkin mengatakan kebenarannya, apa lagi ketidaktahuanku tentang keberadaan Mas Hadi di tempat ini. Itu hanya akan membuatku lebih malu.
"Ah, Ibu mau mampir dulu ke stan kami? Atau perlu kami panggilkan Bapak untuk menemani?"
Aku melempar senyum terbaikku seraya menggeleng. "Sepertinya kalian sibuk. Kalian bisa melanjutkan pekerjaan. Anggep saya nggak ada di sini, ya," ucapku setengah berbisik. Aku mengedipkan mata setelah mereka berpamitan untuk lanjut bekerja.
Namun, mataku tanpa sadar terus menatap punggung mereka. Mereka berjalan menuju salah satu stan yang berada di sudut paling kanan ruangan. Nama perusahaan kelapa sawit terbesar terpampang nyata. Ah, aku terlalu sibuk mencari lowongan yang sesuai bidangku hingga luput menyadari itu.
Mas Hadi terlihat sedang sibuk menerima dokumen dan menjelaskan sesuatu kepada para peserta.
Jika boleh sejenak melupakan ketegangan dan peliknya rumah tangga kami saat ini, aku mungkin akan memujinya. Dia terlihat tampan sekali. Pakaiannya rapi, jambang dan kumisnya juga sudah dipotong sempurna.
Aku menggeleng keras. Fokus!
Namun, Mas Hadi justru menatap ke arahku tepat saat aku ingin pergi dari tempatku berdiri. Tatapan kami beradu dan saling mengunci. Ini terasa sangat canggung.
Mas Hadi berbicara dengan Sandra sebentar, kemudian menghampiriku yang membeku.
"Ama, kamu tahu aku di sini?"
Aku menghela napas panjang, lalu menggeleng. Tentu saja tidak.