Kota J, 08 Oktober 2018
"Ada hal lain lagi yang belum kamu ceritain ke aku?" tanya Mbak Kania begitu aku selesai menceritakan segalanya.
Aku menggeleng. Sudah cukup untuk saat ini.
Keresahanku akan perubahan sikap Mas Hadi, pinjaman online yang tak juga lunas, sakitnya Khoirul dan Awan, biaya hidup kami, pekerjaan Mas Hadi, rumah di Kota S yang terpaksa dijual, hingga keputusan Mas Hadi untuk menjual mobil sedan kesayangannya satu bulan lalu.
Rentetan kisah panjang itu meluncur begitu saja dari mulutku di sela lagu Old MacDonald Had a Farm yang terus mengalun.
Aku menceritakannya dengan terbata. Kadang, aku melompat dari topik satu ke masalah lain begitu saja. Untungnya, Mbak Kania memahamiku dengan begitu baik.
Mbak Kania mendengarkan tanpa menyela. Dia memperhatikanku penuh dan hanya sesekali memalingkan wajah saat Khoirul atau Awan berbuat sesuatu yang mencuri perhatiannya.
Sebenarnya aku merasa bersalah harus membawa Mbak Kania ke tempat seperti ini di akhir pekannya yang berharga. Bukannya kedai kopi, mall, atau restoran, aku justru harus bertemu dengannya di playground agar bisa mengobrol sambil mengawasi Khoirul dan Awan.
Beruntungnya, Mbak Kania langsung merespons pesan singkatku. Dia menghubungiku lima menit setalah pesan terkirim dan mengajak bertemu hari ini juga.
"Kamu yakin?"
Aku mengangguk tanpa berani menatap mata Mbak Kania.
Tidak. Ada bagian yang sengaja kulewatkan. Aku takut kecurigaanku akan adanya orang ketiga dalam rumah tangga kami hanyalah asumsi tak berdasar.
Aku juga masih belum siap menghadapi kenyataan jika firasat akan membawaku melihat kebenaran. Tidak untuk saat ini. Aku masih ingin bersama Mas Hadi. Tidak peduli berapa banyak perih dan sakit yang harus kutahan untuk tetap bisa melihatnya dengan anak-anak.
"Ah, apa alkohol memang senikmat itu, Mbak?"
"Aku benci ini. Tapi, pertanyaan kamu ngasih tahu aku kalau Hadi sekarang juga pecandu alkohol?"
Aku mengangguk. Beberapa kali, aku mencium aroma alkohol yang pekat setiap Mas Hadi pulang kerja di malam hari. Aku juga pernah melihat botol minuman keras di ruang kerjanya.
Jauh sebelum menikah, Mas Hadi memanglah peminum. Dia menceritakan segalanya kepadaku sebelum kami memutuskan menikah. Dia berjanji akan berhenti, dan dia menepatinya.
Namun, kebiasaan lama itu kembali sebulan belakangan. Tepatnya, setelah rumah di Kota S serta mobil kesayangannya terjual.
"Apa dia juga mukulin kamu?"
Aku menggeleng. Mas Hadi tidak pernah melakukan itu.
"Tapi, dia ngehancurin psikis kamu, Rahma."
Kini, perasaan paling dominan yang menguasaiku adalah lelah. Baru satu jam sejak aku dan Mbak Kania bertemu, tapi rasanya aku sudah berbicara seharian penuh. Energiku habis terkuras.
Old MacDonald had a farm. E-I-E-I-O
"Jadi, apa yang kamu butuhkan saat ini, Rahma? Kamu ingin aku memberimu nasihat? Kamu hanya butuh didengar? Mau pelukan?"
And on that farm he had a pig. E-I-E-I-O
Aku hanya mendengkus pelan lantas tersenyum. Kalau tidak sedang berada di playground, aku mungkin akan memeluk Mbak Kania dan menangis sepuasnya. Tapi, kini perasaanku menjadi lebih baik hanya dengan menceritakannya kepada Mbak Kania.
With an oink oink here