Kota J, 24 Desember 2018
Ponselku terus berdering. Puluhan pesan memenuhi kotak masuk.
Aku memutuskan untuk mematikan ponsel. Sekeras apa pun mereka mencoba menekan, aku sudah tidak memiliki apa pun untuk melunasi sisa hutang—yang menurutku tidak ada selesainya.
Dan dering telepon mulai berhenti menggangguku.
Aku tidak bisa fokus bekerja dan mulai gemetar hebat setiap kali seseorang menghubungi. Aku terus bertanya-tanya: apakah itu dari pinjaman online? Ataukah dari orang misterius yang mengirim pesan peringatan itu?
Pesan dan teror yang mereka kirimkan perlahan mendorongku ke pinggir jurang. Curam dan mengerikan. Tapi, aku belum berani mengambil tindakan. Aku juga memutuskan untuk tidak membalas surat elektronik misterius itu.
Lalu, aku ingat belum menyimpan bukti pembayaran pinjaman terakhir. Mas Hadi yang mengurusnya setelah kami dengan terpaksa menjual rumah di Kota S.
Tidak mahal. Rumah itu terletak di perkampungan. Jadi, harga jualnya pun cukup rendah.
Namun, bukan itu sumber kekecewaanku. Sebab memori yang terukir di sana sungguh tak ternilai harganya.
Mengingat itu selalu terasa menyesakkan bagiku. Aku melanggar sumpahku sendiri untuk tidak pernah menjual rumah masa kecil kami. Dan kini, aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankannya.
Perlahan, aku beranjak bangkit dari tempat tidur. Awan dan Khoirul sudah terlelap sejak tadi. Aku berjingkat keluar kamar menuju ke ruang kerja Mas Hadi. Biasanya, Mas Hadi menyimpan nota dan dokumen penting di laci meja kerjanya.
Pintu berderit cukup keras. Aku lupa kapan terakhir kali memberi pelumas pada engsel pintu. Kulirik jam beker di atas meja kerja Mas Hadi. Pukul 23.00 dan dia juga belum kembali. Padahal, ini malam natal dan seharusnya dia bisa menikmati cuti bersama kami.
Aku mencoba membuka laci paling atas. Sesuatu mengganjal saat aku mencoba menariknya. Lacinya penuh sekali. Pasti Mas Hadi tidak pernah merapikannya.
Kubuka lembar demi lembar dokumen yang memenuhi laci. Kususun satu per satu. Tidak ada yang aneh; nota perjalanan dinas, nota pembelian ATK, nota pembelian perlengkapan kantor, kwitansi pembayaran obat, kwitansi SPP Khoirul.
Namun, ada nota yang menurutku cukup janggal: kwitansi hotel bintang lima di Kota B, bill private fine dining di salah satu restoran besar Kota B, juga kwitansi penyewaan tenda dan perlengkapan camping. Semuanya dipesan atas nama Mas Hadi untuk dua orang di tanggal dua puluh lima bulan lalu.
Aku ingat sekali itu adalah hari di mana Mas Hadi berhasil menjual mobil sedannya dan menolak pulang untuk beberapa hari. Dengan dalih ingin menenangkan diri, dia memblokir seluruh akses komunikasi. Dan hari ini, aku menemukan kebenarannya.
Dengan tangan gemetar, aku mencoba membuka dokumen lain. Tapi, tidak ada yang bisa kutemukan lagi.
Tanganku terus gemetar. Aku butuh seseorang saat ini. Siapa pun.
Pikiran dan asumsi sudah membawaku berjalan terlalu jauh. Ketakutan menyergapku seketika.
Berulang kali, aku mencoba menghubungi nomor Mbak Dara. Panggilan pertama, nomornya tidak aktif. Panggilan kedua, nomornya sibuk. Panggilan ketiga, terdengar nada sambung sebelum seseorang bersuara parau menjawab teleponku.
Sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali kami bicara. Sepertinya Mbak Dara benar-benar menikmati liburannya hingga jarang sekali bisa dihubungi.
"Mbak, udah di Kota J lagi?" tanyaku begitu panggilanku diterima Mbak Dara. Sekuat tenaga, aku mencoba mengenyahkan sesak di dada.
"Aku baru aja sampai rumah dari bandara, Ama. Apa sesuatu terjadi?" Suara Mbak Dara terdengar parau.
"Apa aku harus nunggu sesuatu terjadi buat ngubungin Mbak?"
Ya Tuhan. Aku sudah tidak tahan lagi. Tangisku tak bisa kutahan lebih lama. Dadaku kian sesak hingga kesulitan bernapas.
Mbak Dara tertawa. "Kamu ngubungin aku malem-malem kalau nggak ada apa-apa, pasti kangen, ya."
"Hm. Aku kangen sama Mbak." Keheningan membuat jeda yang cukup panjang. Air mataku meleleh basahi pipi. "Ngomong-ngomong, Mbak Dara sakit?"
"Aku baik-baik aja, Ama. Apa aku terdengar kurang sehat?"
"Kayaknya Mbak Dara harus istrirahat," ucapku pada akhirnya. Aku sudah tidak tahan lagi.