Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #24

Kota J, 03 Januari 2019 (Wanita Itu)

Kota J, 03 Januari 2019

Kenapa semua jadi salahku? Kenapa aku yang menghancurkan hidup Mas Hadi?

Ucapan Mas Hadi malam itu membuatku terus menyalahkan diri. Aku kesulitan tidur dan tidak bisa makan. Sekali pun bisa makan, aku akan memuntahkannya kembali.

Mengingat perselingkuhan Mas Hadi membuat perutku mual sepanjang hari.

Mas Hadi juga menghilang lagi. Dia belum kembali sejak kejadian di pasar malam sepekan lalu. Lagi-lagi, dia menghindari masalah dan justru lari di saat seperti ini.

Aku terkukung dalam kubangan sesal sendirian. Aku tidak berkeinginan untuk melakukan aktifitas apa pun selain mencoba tidur, makan, dan menemani anak-anak bermain.

Langkahku terasa begitu berat bahkan hanya untuk pergi mandi dan membersihkan diri. Jika bukan karena anak-anak, aku tak yakin bisa bertahan.

Aku berhenti jualan serta menutup jasa laundry. Aku bahkan memesan taksi untuk antar jemput Khoirul ke sekolah dan catering makanan. Dunia di luar sana tetap berjalan dengan semestinya, sementara waktuku terhenti di malam sialan itu.

Puluhan pertanyaan berjubal mengisi kepala. Tapi, aku bahkan tidak bisa mengungkapkan satu pun di antaranya. Aku justru sibuk menyusun alasan acap kali Khoirul atau Awan menanyakan keberadaan Mas Hadi.

Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaanku sendiri.

"Mama, lihat. Lihat." Awan menarikku yang termenung di sofa ruang tamu ke teras rumah. Dia berhasil menyusun enam balok hingga terlihat setinggi dirinya.

Aku mengecup pipinya. "Wah, Awan hebat sekali!"

Mendengar pujianku, Awan bersorak kegirangan. Dia melompat dan berjingkat mengelilingi tubuhku. Gerakan Awan terhenti ketika kakinya tidak sengaja menendang robot transformer paper craft di dekatnya.

Lihatlah! Mas Hadi bahkan belum selesai menyusun paper craft transformer kesukaannya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Bagaimana pria yang dulu begitu mencintai kedua putranya bisa mengkhianati kami?

Ini gila. Aku bisa gila jika terus berdiam diri seperti ini.

Kuambil ponsel yang sudah kumatikan sejak semalam di atas nakas. Aku berusaha menghubungi Mas Hadi, tapi nomornya masih belum aktif. Kubuka pesan elektronik dan menulis sebuah pesan singkat untuk alamat anonim yang mengirimiku peringatan dua bulan lalu.

Kuruntuhkan egoku dan sebuah pesan balasan terkirim.

To: Sanwwxx76

Kamu boleh tetap bersembunyi jika mau. Aku tidak perlu tahu siapa kamu. Tapi, bisakah kamu membantuku mengirim detail info tentang wanita itu?

Aku menunggu balasan dengan perasaan gamang. Di satu sisi, aku ingin tahu lebih banyak. Tapi, di sisi lain aku tidak siap mengetahui wanita yang berhasil mencuri Mas Hadi dari pelukku.

Apakah dia lebih cantik dariku? Lebih baik? Lebih bisa membuat Mas Hadi bahagia? Wanita karier kah? Bekerja di mana dia?

"Papa!"

Pekikan Awan membuyarkan imajinasiku. Awan berlari ke depan begitu gerbang terbuka dan Mas Hadi muncul di sana. Mereka lantas berpelukan. Jika situasinya berbeda, aku akan meminta Mas Hadi untuk membersihkan diri sebelum menyentuh putranya.

Namun, aku hanya berdiri membeku tanpa sepatah kata pun terucap.

Tiba-tiba saja aku merasakan keinginan untuk muntah yang begitu kuat. Perutku seperti terpelintir. Menjijikkan rasanya membayangkan wanita lain tidur bersama Mas Hadi. Mereka berbagi peluk, cium, bahkan menghabiskan malam bersama. Seperti aku?

Aku berlari ke kamar mandi dan seluruh isi perutku terkuras. Mas Hadi berlari menyusulku. Dia memijit pundakku pelan.

"Kamu sakit, Ama?"

Menjijikkan sekali. Mas Hadi bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami. Dan selalu begitu ritmenya; masalah terjadi, kami bertengkar hebat, Mas Hadi menghidariku, lantas pulang tanpa keinginan untuk menyelesaikannya.

Hal yang sama terulang lagi dan lagi.

Aku menepis tangan Mas Hadi dari pundakku dan berjalan keluar. Aku tidak mau mencium aroma parfum wanita lain yang mungkin tertinggal di sana.

"Kamu demam. Kita harus segera ke rumah sakit."

Tidak. Aku hanya mual melihatmu, Mas.

"Maafkan aku, Ama. Malam itu aku mabuk berat. Aku mengacau."

Rasanya aku ingin sekali menangis. Seandainya memang masalahnya sesederhana itu. Seandainya bukan perselingkuhan. Seandainya Mas Hadi tidak pernah mengatakan jika semua adalah salahku.

Lihat selengkapnya