Kota J, 03 Januari 2019
Aku terbangun di ranjang dan tempat yang tidak asing. Kepalaku berdenyut hebat dan tubuh terasa lemas. Aku beringsut duduk, tapi rasa mual langsung menyergap.
Benar. Aku bahkan belum mengisi lambungku seharian ini. Tapi, itu tidak penting sekarang. Aku harus segera pergi dari sini.
Aroma minyak kayu putih begitu kuat menusuk indra penciuman begitu aku memperoleh kesadaran utuh.
Kulihat, Khoirul dan Awan terlelap di sampingku.
Kuharap, apa yang sudah terjadi hanyalah mimpi. Tapi, keberadaanku kini menjadi jawaban pasti. Kenyataan pahit harus aku hadapi. Setelah ini, mungkin hidup akan lebih sulit lagi.
Perlahan, kucoba kembali duduk dan beranjak dari tempat tidur. Langkahku goyah, tapi hatiku jauh lebih tabah. Aku bersumpah tidak akan ada lagi air mata setelah ini. Aku akan menyelesaikan segalanya sekarang.
Aku berjalan ke luar kamar dengan susah payah. Aku bisa melihat Mbak Dara tengah duduk sambil memeluk kedua lututnya di sofa ruang keluarga. Pandangannya lurus ke arah televisi yang tidak menyala. Dia menoleh begitu menyadari kehadiranku.
Sebenarnya, aku ingin sekali memakinya, menjambak rambutnya, lalu pergi tanpa perlu mendengar penjelasan apa pun darinya. Tapi, tubuhku justru membeku. Ada bagian dari diriku yang menginginkan penjelasan darinya.
Kenapa harus Mas Hadi? Kenapa harus rumah tangga kami?
"Aku benci harus mengatakan ini, tapi aku tidak ingin membuat alasan apa pun atas semua yang terjadi, Ama."
Aku tersenyum kecut. "Karena apa pun alasannya kalian tetap bersalah. Dan—"
"Dan aku tidak peduli," potong Mbak Dara cepat. "Sejak awal aku memulai, aku nggak pernah belajar cara berhenti, Ama. Kalau aku tahu caranya, aku udah berhenti sejak hari di mana kalian ketemu. Karena aku tahu aku pasti akan kalah. Tapi, hari itu aku mutusin buat nggak berhenti."
"Mbak Dara nggak pernah ngasih tahu aku, Mbak. Kalau aku tahu...."
Kalimatku terhenti. Kalau aku tahu lantas apa? Apakah aku benar-benar bisa melepaskan Mas Hadi untuk Mbak Dara?
"Kenapa, Ama? Kamu tahu kalau kamu nggak akan bisa ngelepasin Mas Hadi buat aku? Atau kamu tahu kalau Ibu nggak akan pernah ngebiarin kamu kalah?"
Harus kuakui, keterlibatan Ibu dalam hubunganku dengan Mas Hadi memang cukup besar. Ibu adalah orang yang paling menginginkan pernikahan kami. Aku juga tahu jika hubungan Mbak Dara dan Ibu sedikit canggung. Tapi, bagaimana ini semua jadi tentang Ibu?
"Tapi, ini salah, Mbak."
Kulihat, tangan Mbak Dara terkepal. Suaranya memang bergetar, tapi sorot matanya sama sekali tidak padam. Sepertinya, dia sudah begitu siap menghadapiku. Dia tahu jika hari seperti ini pasti akan tiba.
Mbak Dara mendekatiku yang berdiri mematung di depan pintu kamar. Sebutir air jatuh dari sudut matanya. "Ama, kamu udah bersinar sejak kecil. Kamu diberkati. Kamu bisa mendapatkan apa pun yang kamu mau. Kamu bisa sekolah, kuliah, kerja, tanpa harus lama menunggu. Tanpa harus mengalah dulu."
"Mbak,"
"Aku berikan masa kecilku buat bantu Ibu ngerawat kamu. Aku yang jadi sasaran kemarahan Ibu saat kamu sakit, nggak mau makan, atau saat kamu gagal memenuhi ekspektasi Ibu. Aku adalah bantal pelindungmu."
Aku kehabisan kata-kata. Lututku terasa lemas hingga tak mampu menopang berat tubuhku sendiri.
"Aku akan tetap salah di mata Ibu selama itu menyangkut kamu."
"Ibu mencintai kita sama besar, Mbak."