Kota J, 17 April 2019
Mbak Dara sudah melahirkan putri pertamanya satu bulan lalu. Mas Hadi yang kala itu tengah menemui anak-anak bergegas pergi ke rumah sakit dan meminta kami untuk menunggu.
Namun, dia tidak pernah datang lagi hingga hari ini. Meskipun kini kehadirannya hanya untuk anak-anak dan bukan untukku lagi.
Entah bagaimana, itu tetap membuatku kecewa.
Dua bulan yang kugunakan untuk memikirkan ulang segalanya terasa sia-sia. Luka di hatiku kian menganga. Aku tidak pernah bisa lupa kenyataan bahwa Mas Hadi berselingkuh dengan kakak kandungku sendiri.
Mereka bahkan punya jejak nyata: bayi perempuan yang kini sudah menjadi bagian dari kami.
Ah, harusnya bayi itu menjadi keponakanku tersayang. Aku akan membelikannya baju bayi yang cantik, mainan, serta menghujaninya dengan cinta andai ayahnya bukan Mas Hadi.
Aku meremas selembar kertas bertuliskan 'Surat Gugatan' yang berisi identitas, fakta hukum, fakta kejadian, dan hal-hal yang menjadi tuntutanku kepada Mas Hadi.
Ke mana Rahma yang kemarin menggebu-gebu ingin segera menyelesaikan segalanya? Kini aku justru duduk termangu di sofa ruang tamu dengan segala ragu.
Beberapa hari lalu, aku pergi ke pengadilan agama dengan membawa kedua putraku. Awalnya, aku berencana menyampaikan semua gugatan secara lisan. Tapi, lidahku kelu begitu berada di sana. Pihak pengadilan menyarankanku untuk memikirkan ulang semuanya atau jika perlu mereka bersedia membantu menyediakan penasihat pernikahan.
Aku menolaknya. Karena berapa kali pun orang lain memintaku mempertahankan hubungan, aku tidak pernah sanggup membayangkan jika Mas Hadi dan Mbak Dara kerap tidur bersama.
Dadaku sesak sekali. Aku ingin segera mengakhiri ini, tapi aku juga tidak bisa membiarkan Mas Hadi dan Mbak Dara bahagia begitu saja. Bukankah dengan aku menceraikan Mas Hadi mereka akan jadi lebih leluasa?
Ponselku terus berdering. Mbak Kania tidak pernah lelah membujukku untuk menerima kunjungannya. Dia terus meminta maaf kepadaku karena tidak menyampaikan fakta yang diketahuinya sejak lama. Tapi, aku sudah terlanjur kecewa.
Aku tidak percaya siapa pun.
Mbak Kania yang kuanggap sahabat baikku, justru menyembunyikan perselingkuhan Mas Hadi. Bertahun-tahun dia simpan sendiri alasan di balik kandasnya hubungannya dengan Dandi. Bertahun-tahun aku menganggap Mbak Kania diselingkuhi. Ternyata, justru aku yang mereka bodohi.
Sebenarnya, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku.
Sebulan belakangan, aku sering mendadak kebingungan. Aku bisa tiba-tiba melupakan sesuatu dan suasana hatiku membaik. Tapi, tak lama setelah itu aku kembali merasakan kesedihan yang tidak terbendung hingga dadaku terasa begitu penuh.
Sebuah suara keras terdengar di gerbang depan. Keributan yang tak terelakkan terjadi. Beberapa orang datang menghampiri rumah kami.
"Keluar kau Hadi! Jangan sembunyi lagi! Bayar hutangmu atau kami ambil paksa barang-barangmu."
Aku berjalan menuju pintu depan, lalu mengintip dari jendela ruang tamu. Ah, rupanya Sulaiman.
Aku bahkan sudah bosan dengan ini. Selain Mbak Kania yang rutin mengantar makanan, debt collector dari pinjaman online yang kuambil, Sulaiman juga masuk di daftar pengunjung rutin rumahku.
Dengan langkah gontai, aku keluar rumah menuju gerbang depan. Dua lembar surat undangan pemilihan umum terbang begitu pintu terbuka. Entah sejak kapan kertas-kertas itu ada di sana.
Khoirul dan Awan yang penasaran dengan keributan di depan, mengikuti langkahku. Mereka bersembunyi di balik badanku.
"Mas Hadi nggak ada, Pak. Percuma Bapak mengamuk di sini. Mas Hadi sudah nggak tinggal di rumah ini lagi," ucapku dari balik pagar rumah. Aku tidak berniat membukakan gerbang untuk siapa pun. Apalagi Sulaiman dan anteknya yang berpotensi membuat kegaduhan.
"Alasan! Kalau gitu, jangan halangi kami mengambil paksa barang-barang di rumahmu."
Belum sempat aku menjawab, kunci pagar sudah dirusak oleh beberapa anak muda yang ikut bersama Sulaiman. Bu Darmi yang menyaksikan dari kejauhan memekik.
"Mbak Rahma, menjauh! Bawa anak-anak menjauh!"
Refleks, kupeluk Khoirul dan Awan di belakangku. Kututup mata mereka dan mundur menjauhi pagar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melindungi mereka yang jadi prioritasku saat ini.
Sulaiman dan anteknya masuk begitu pagar terbuka. Mereka menerobos pintu depan dan mulai mengobrak abrik seisi rumahku.
Tak berapa lama, mereka keluar dengan membawa televisi, kulkas, kipas angin, mesin cuci, hingga penanak nasi. Aku tidak tahu benda apa lagi yang mereka ambil karena kini pandanganku berkabut.
Aku benar-benar tidak punya apa-apa lagi.