Kota J, 17 Maret 2019
Ketukan di pintu terdengar semakin keras dan cepat seirama detak jantungku. Suara Mas Hadi menyerukan namaku dan anak-anak terdengar semakin lantang.
Namun, semua terlambat. Aku sudah membuat sebuah keputusan yang besar. Tidak ada yang bisa menghalangiku lagi.
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ada foto pernikahanku dan Mas Hadi, foto anak-anak, bingkai mahar pernikahan, juga lemari yang isinya tak lagi rapi.
Di tempat ini, memori awal pernikahan kami terukir, obrolan-obrolan panjang menjelang petang tercipta, hingga malam-malam panjang yang kuhabiskan untuk menyusut air mata.
Akan kuingat dan kubawa memori ini hingga akhir hidupku.
"Ama, Anak-anak, buka pintu buat Papa, ya? Papa minta maaf."
Khoirul dan Awan menatapku bingung. Mereka terlihat ingin membuka pintu untuk Papa yang selama ini jadi panutan mereka.
Di sisi lain diriku, aku jelas mengharapkan itu. Aku berharap Khoirul dan Awan berlari ke arah pintu dan meminta Mas Hadi menyelamatkan mereka. Dengan begitu, aku akan merasa lega. Aku bisa meninggalkan mereka dengan Mas Hadi. Aku akan yakin jika mereka mencintaiku dan Mas Hadi sama besar.
Tapi, anak-anak hanya diam membisu dan justru mendekat ke arahku. Mereka lebih memercayaiku saat ini.
Perlahan, kuminum cairan berwarna merah muda di dalam botol. Sensasi pahit dan panas menjalar dari mulut, kerongkongan, dada, perut, hingga ke seluruh tubuhku. Gejolak mual tak tertahankan mulai bisa kurasakan. Ususku seperti diremas-remas dan tubuhku mendadak lemas.
Khoirul dan Awan mengikutiku meminum racun dengan sukarela hingga akhirnya muntah-muntah. Aku tidak tega. Tapi, aku bahkan sudah tidak punya daya untuk menghentikan mereka.