Kota J, 21 Mei 2019
Akhirnya, aku kembali ke ruangan rawat inap setelah melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menentukan terapi fisik atau rehabilitasi yang mungkin diperlukan.
Aku baru saja terbangun saat seorang tenaga medis yang tidak kukenal masuk dan menyampaikan tujuan pemeriksaan pagi tadi. Dia membawaku ke ruangan-ruangan dingin dengan begitu banyak alat canggih. Mereka juga mengambil urin, darah, serta fesesku.
"Maaf ini akan sedikit tidak nyaman, Bu. Kami melakukan semua ini untuk memastikan tidak adanya luka baring. Tenang saja. Ini adalah pemeriksaan terakhir kita," kata salah seorang perawat perempuan saat memeriksa hampir seluruh tubuhku.
Dia memberitahuku jika semua hasilnya baik, lantas menuliskan sesuatu di selembar kertas. Perempuan muda berbadan gempal itu juga memberitahuku jika hasilnya akan keluar siang ini.
"Jika semua hasilnya baik, kita hanya perlu melakukan latihan fisik dan pemulihan psikologis Ibu Rahma saja. Hari-hari setelah ini akah lebih berat. Jadi, bertahanlah untuk kami yang berjuang membangunkanmu ya, Bu."
Kalimat perawat muda ini cukup menamparku. Padahal, seharusnya itu menjadi penghiburan bagiku.
Perasaan tidak pantas hidup itu terus hadir di antara keinginanku untuk bertemu dan menebus kesalahan kepada Khoirul. Aku terus berpikir bisakah aku menghadapi dunia setelah semua ini? Bukankah aku lebih pantas mati?
Terkadang, aku berharap segalanya baik-baik saja dan bisa segera pulih. Meskipun aku akan dibebani perasaan bersalah setiap kali harapan itu muncul.
Sejak kembali ke ruangan ini, suara perawat itu terus saja menggema di telinga.
Tidak ada yang boleh menemuiku saat ini. Aku terisolasi. Aku sendirian dalam ruangan tanpa diperbolehkan terkena distraksi dari luar.
Aku tidak bisa berhenti memikirkannya hingga terdengar suara pintu yang terbuka. Seseorang masuk. Aku mencoba membuka mata dan berhasil.
Mita datang dengan senyum lebar. Dia menyapaku lantas mematikan AC.
"Ibu harus menikmati betapa hangatnya matahari pagi ini."
Aku menatap ke arah jendela tempat Mita berdiri. Sinar matahari menyapaku ramah, meskipun sedikit silau.
Kupejamkan mata selama beberapa saat, lalu membukanya kembali.
"Apa Ibu sudah siap bertemu dengan Khoirul hari ini?" tanya Mita sembari berjalan ke arah tempat tidurku. "Selama Ibu koma, Khoirul mendapat pendampingan dari komnas anak. Dia didampingi seorang psikolog anak setiap hari. Kondisinya semakin baik, Bu."
Ini semua salahku. Khoirul pasti sangat menderita. Hari itu dia menyaksikan sendiri kematian adiknya. Dan aku, ibu kandungnya adalah sang tersangka utama.
Keraguan itu kembali muncul. Pantaskah aku menemui Khoirul? Bukankah itu hanya akan mengorek lagi lukanya?
Mita menggenggam jemariku seolah tahu kegelisahan yang berkelindan. "Khoirul dalam kondisi baik, Bu. Dia hebat sekali. Dia udah melalui banyak hal selama hampir tiga bulan Ibu koma di sini. Dia melewati segalanya dengan sangat baik."
Aku memejamkan mata. Aku ingat Khoirul yang enggan menemuiku saat koma. Dia pasti masih berjuang menghadapi carut marut perasaannya saat itu. Dan kini, dia datang dengan suka rela.
Pasti berat sekali jadi Khoirul.
"Ibu, Khoirul mungkin nggak akan pernah bisa sembuh total. Dia akan membawa kenangan buruk itu sepanjang hidupnya. Tapi, ada ibunya sekarang. Dia tidak sendirian. Bukankah kalian harus sembuh bersama?"
Aku mengedipkan mata sekali sebagai jawaban. Aku ingin sekali bertemu dengan Khoirul. Aku merindukannya hingga nyaris gila.
"Khoirul adalah satu-satunya pengunjung yang diijinkan menemui Bu Rahma sebelum ketemu psikiater sore nanti. Dia istimewa, Bu," bisik Mita sambil terus tersenyum.
Mita menegakkan ranjang bagian atas hingga kini posiku menjadi setengah duduk. Perlahan, aku berusaha menggunakan otot leherku untuk menoleh. Tapi, kepalaku bahkan tidak bergerak satu mili pun.
"Lalat-lalat di luar sudah pergi. Mereka mendapatkan berita eksklusif seperti yang mereka mau."
Ini yang kusuka dari Mita. Dia adalah perawat yang paling rajin membawakanku berita dari luar.