Kota J, 30 Mei 2019
"Halo, Rahma." Dokter Anita menyapaku ramah.
Dari kejauhan, aku bisa langsung tahu siapa perempuan cantik yang tengah melambaikan tangan sembari memanggil namaku itu.
Ini adalah pertemuan ke enam kami. Sebelumnya, Dokter Anita meresepkan beberapa obat untuk membuatku merasa lebih baik. Dia bilang, perjalanan psikologisku akan jadi panjang dan melelahkan. Tapi, aku harus tetap berjuang.
Dengan tongkat bantu jalan, aku berusaha mendatangi Dokter Anita yang menungguku di samping pintu masuk ruang terapi fisik.
"Ibu harus mandi dan berganti pakaian sekarang. Lihatlah keringat ini. Saya yakin, hasilnya akan memuaskan," ucap salah seorang terapis saat membantuku naik ke kursi roda.
"Te-ri-ma-ka-sih," jawabku terbata.
Ini bukan karena kemampuan bicaraku yang belum bagus. Tapi, napasku putus-putus. Latihan fisik selalu terasa menguras tenaga.
Dokter Anita membantuku mengisi absen di lembar jadwal terapi sebelum mendorong kursi rodaku keluar. Biasanya, Mita yang melakukan semua pekerjaan ini. Tapi, lonjakan pasien membuat dokter utama tak bisa menghindari pekerjaan seperti ini.
"Kamu lelah, Rahma?"
Aku menggeleng tegas. Mataku terus menatap ke depan; ke kerumunan manusia yang masih terus membicarakan hal yang sama: hasil perhitungan suara dan pengumuman pemilu oleh KPU serta demonstrasi besar-besaran yang terjadi belakangan ini.
Sejujurnya, aku senang dengan cara Dokter Anita memanggilku. Dia memutuskan memanggilku dengan nama setelah pertemuan pertama kami beberapa hari lalu. Kami sebaya. Dan aku menjadi lebih nyaman dengan itu. Rasanya, aku sedang berbicara dengan teman dekat.
"Pasti pertemuan denganku lebih melelahkan dan mengerikan, ya?"
Aku tersenyum. Tidak dan ya. Ada kalanya pertanyaan Dokter Anita membuatku merasa lelah karena harus mengingat bagian-bagian hidupku yang pahit. Tapi, afirmasi dan validasi yang dia berikan terasa menggugah.
Tak melulu hal positif, terkadang Dokter Anita menghujaniku dengan pernyataan kritis yang menampar. Lalu, kemudian aku sadar dan menjadi lebih positif.
Kami berjalan melalui lorong panjang bangsal rumah sakit.
Beberapa hari ini, rumah sakit ricuh sekali. Banyak pasien berdatangan sehingga rumah sakit kehabisan kamar. Beberapa pasien terpaksa dirawat di lorong bangsal. Melihat kondisi ini, aku tak bisa membayangkan bagaimana situasi di lapangan. Begitu banyak demonstran yang jadi korban.
"Harusnya kamu tidak boleh melihat pemandangan ini, Rahma. Tapi, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kondisi saat ini benar-benar di luar kendali."
Tidak masalah. Tidak ada yang benar-benar menggangguku selain suara ambulan.
Aku juga belajar hal baru setiap hari.
Seperti seorang bayi, aku memulai segalanya dari awal. Aku belajar menggerakkan tangan, kaki, kepala, merangkak, duduk, berjalan, dan berbicara. Aku bahkan belajar mengunyah dan menelan makanan.
Semua aktifitas itu membuatku kehabisan tenaga. Aku akan kembali ke ruangan perawatan dalam kondisi lelah dan mengantuk.
Namun, usahaku berbalas hasil yang memuaskan. Sepekan lebih latihan, aku sudah bisa makan tanpa selang, duduk, dan melakukan peregangan sendiri di kamar. Aku juga mulai bisa berbicara dengan Khoirul atau menanggapi gurauan Mita dan para tim medis yang membantuku pulih.