Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #31

Keputusan-keputusan

Kini, 04 Juni 2019

Mas Hadi kembali diperbolehkan mengunjungiku. Di sela kesibukannya, dia datang bersama tim kuasa hukum dan beberapa orang dari Komnas Perlindungan Perempuan.

Padahal, aku lelah sekali.

Seharian ini, aku pergi ke kantor polisi guna memenuhi panggilan penyidikan.

Aku sudah membayangkan suasana interogasi yang menegangkan seperti di drama dan film yang pernah kutonton; sebuah ruangan kedap suara dengan cermin satu arah, perekam, meja, kursi logam, lampu sorot, juga penyidik dengan mimik wajah garang.

Namun, aku sama sekali tidak menemukan itu di kantor polisi.

Begitu tiba di sana pagi tadi, aku dibawa masuk ke sebuah ruangan yang minim distraksi—itu benar-benar hanya ruangan biasa yang lebih sepi. Ada dua orang penyidik yang duduk bersebrangan denganku. Mereka sempat menawariku sarapan. Lalu, mereka memulai dengan pertanyaan ringan basa-basi.

Obrolan berlanjut dan sembilan belas pertanyaan diajukan. Kujawab semuanya dengan gamblang tanpa menutupi apa pun. Dan kurasa, mereka terus mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Terkadang, aku merasa mereka begitu percaya dengan keterangan yang kuberikan. Tapi, di menit berikutnya mereka memberikan pertanyaan sangkalan.

Itu semua melelahkan. Aku benci terus dijejali dengan pertanyaan yang jawabannya ingin sekali aku lupakan: apa yang terjadi di hari Awan mati?

Bagiku, pertanyaan itu lebih mencekam dibanding suasana dan atmosfir ruang interogasi yang terlintas di pikiran.

Suasana hatiku sangat buruk. Kecemasan yang berlebih datang tanpa aba-aba. Aku menggigil hebat dan terus menangis. Aku mendadak bodoh dan impulsif.

Dan di titik ini aku jadi sadar, aku adalah Rahma yang bukan siapa-siapa tanpa gelar dan background pekerjaanku.

"Kami akan memperjuangkan hak Bu Rahma agar mendapatkan perawatan seperti seharusnya agar kondisi psikologisnya segera pulih," ucap Pak Doni, kuasa hukum yang ditunjuk oleh lembaga bantuan hukum untuk mendampingiku selama proses hukum berjalan. Suaranya yang lantang membuyarkan lamunanku. "Ini tidak akan mudah. Banyak kasus yang tersangka tindak pidananya adalah seorang dengan gangguan jiwa, tapi tidak mendapatkan hak perawatan seperti seharusnya."

"Benar. Berkaca dari kasus serupa, ini memang tidak akan mudah. Tapi, kita bisa upayakan yang terbaik." Pria lain yang berpakaian lebih rapi dan berambut klimis turut menimpali.

Mas Hadi yang duduk bersebrangan dengan mereka meremas rambut dengan frustrasi. Kantung matanya terlihat hitam dan lebar, tanda jika dia kelelahan. "Saya sudah memberikan kesaksian dan menjelaskan kejahatan saya yang membuat psikis istri saya menjadi tidak stabil. Bukankah itu seharusnya membantu?"

"Semoga hakim mau mendengar kesaksian saksi ahli dan dokumen visum et repertum psychiatricum," ujar Pak Doni.

Aku mengalihkan pandanganku dari wajah kusut Mas Hadi ke jendela di sisi pembaringan. Aku benci berempati. Aku benci mengasihani.

Dan sejak satu jam lalu, mereka mendiskusikan berbagai hal tanpa melibatkanku. Sebenarnya, aku enggan terlibat. Apa pun keputusan hakim di pengadilan nanti, tidak akan pernah cukup adil untuk menebus semua kesalahanku.

Aku sangat bersalah hingga tidak ada satu pun cara untuk menebusnya. Baik di penjara atau rumah sakit jiwa, tidak akan pernah cukup menggantikan penderitaan Awan dan Khoirul atas tindakan gegabahku.

Ketukan di pintu terdengar. Dokter Anita masuk tepat saat dua pria yang sejak tadi berbincang mulai berpamitan.

"Maaf apa saya mengganggu?" tanya Dokter Anita saat menyadari ada orang lain di ruangan ini.

"Tidak, kami sudah selesai," jawab Pak Doni sembari mempersilakan Doker Anita masuk.

Mereka meninggalkan ruanganku setelah berbasa basi sebentar, sementara Mas Hadi tetap tinggal.

"Dokter, apakah istri saya boleh minum kopi kesukaannya hari ini saja?"

Lihat selengkapnya