Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #32

Meja Hijau

Kini, 15 Juni 2019

Aku melepas semua atribut yang pernah kukenakan; prestasi, karier, dan latar belakang pekerjaan.

Aku bukan siapa-siapa lagi sekarang. Aku telah gagal menjadi istri dan ibu yang baik untuk kedua putraku.

Bagi semua yang hadir di sini hari ini, aku hanyalah seorang pembunuh; ibu yang tega menghabisi nyawa anaknya sendiri; perempuan gila yang rela kehilangan dunianya hanya karena suaminya berselingkuh; seorang adik yang telah menghancurkan mental kakak kandungnya hingga pantas mendapat karma; perempuan yang alih-alih mati, justru mendapat kesempatan kedua—atau justru hukuman—dari Tuhan.

Sidang pertama berjalan cukup lancar, meski harus dijeda beberapa kali karena kondisiku yang memburuk pada saat dakwaan dibacakan.

Segalanya terasa benar bagiku. Semua yang disampaikan jaksa penuntut umum adalah kebenaran. Aku didakwa atas kejahatan mendorong orang lain untuk bunuh diri dan dituntut penjara paling lama empat tahun sesuai dengan Kitap Undang-undang Hukum Pidana pasal 345(10).

Semua menerima hasil dakwaan dan hakim mengumumkan tanggal sidang selanjutnya.

Sidang kedua dilakukan dua hari kemudian. Ini juga tidak kalah melelahkan. Saksi ahli dihadirkan. Khoirul dan Mas Hadi bersaksi di depan pengadilan. Aku bahkan tidak punya waktu yang cukup untuk memahami segala yang sedang terjadi di sekitarku. Kondisiku memburuk tepat setelah hakim memintaku meninggalkan kursi pemeriksaan.

"Mama adalah orang baik. Dia akan melakukan apa pun untuk membuat kami bahagia. Sekolah, mainan, pakaian, kami mendapatkan lebih dari yang dimiliki orang lain, Pak Hakim. Saya mohon, jangan hukum Mama."

Aku masih ingat dengan jelas kalimat penutup yang Khoirul berikan di sidang kedua saat itu. Dia menutup kesaksiannya dengan kalimat yang membuat semua orang di pengadilan menahan gugurnya air mata.

Saat itu, semua mata tertuju padanya.

Khiorul memohon pengampunan untukku; orang yang hampir membuat nyawanya melayang. Dia juga menemuiku setelah sidang selesai. Setangkai mawar merah dia berikan.

"Khoirul akan datang ke Mama sebelum bunga itu layu. Khoirul kasih yang baru ya, Mama," ucapnya dengan senyuman yang merekah indah. Kalimatnya meluncur tanpa beban. Tanpa dendam.

Bagaimana aku bisa berpikiran mati bersama anak setulus Khoirul?

Sidang selanjutnya dilangsungkan satu minggu lalu. Pembacaan tuntutan pidana dan nota pembelaan berjalan lancar. Sidang ditutup dengan pembacaan tanggapan-tanggapan. Semua dirasa sudah cukup hingga hakim ketua memberi pernyataan resmi jika pemeriksaan telah ditutup.

Kini, aku kembali duduk di kursi terpidana dengan seragam tahanan berwarna jingga. Mulanya, aku sendirian. Tapi, Dokter Anita menyadari kegelisahanku dan meminta ijin agar bisa mendampingi.

Dokter Anita berdiri tepat di belakang tempat dudukku.

"Sedikit lagi, Rahma. Segalanya akan segera berakhir," bisik Dokter Anita saat jemariku tak bisa berhenti meremas pergelangan tangannya. "Kamu bisa bertemu dan memeluk Khoirul setelah ini."

Mataku mengitari seluruh isi ruang sidang. Di depanku tiga orang hakim duduk dengan dokumen di tangan. Wajah mereka terlihat serius.

Di sisi kiri dan kananku, duduk jaksa penuntut umum serta tim kuasa hukumku. Tapi, aku tidak tahu siapa yang hadir di persidangan selain mereka.

Mas Hadi? Mbak Dara? Mbak Kania? Apakah mereka juga hadir hari ini seperti sebelumnya?

Aku juga mulai terbiasa dengan kehadiran wartawan dan suara kamera mereka. Mereka mengikuti sidang sejak kali pertama. Mereka boleh meliput dan membuat berita dengan syarat mengaburkan wajah Khoirul dan menyamarkan namanya.

Dan kini, aku kembali mendengar suara jepret kamera di belakangku.

Salah seorang dari majelis hakim—yang kuyakini sebagai hakim ketua—menjelaskan jika ini adalah sidang putusan dan meminta semua yang hadir dalam persidangan untuk memerhatikan dengan seksama.

"Kami akan membacakan putusannya sekarang, mohon hadirin untuk diperhatikan."

Ada jeda selama beberapa saat. Keheningan menyelimuti ruangan. Tanganku berkeringat dan jantungku berdegup kencang.

Hakim ketua mulai membacakan nomor putusan, tanggal, nama jaksa penuntut umum, serta identitasku. "Kepada terdakwa agar bisa berdiri di tempat."

Dengan gemetar, aku mengikuti perintah hakim. Susah payah, aku berusaha bangkit dari tempat dudukku dan berdiri dengan tegap menghadap majelis hakim.

Lihat selengkapnya