Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #33

Salam Perpisahan

Kini, 14 Juni 2019

Perjalanan rumah tangga kami memang tak seindah drama Korea yang kutonton setiap akhir pekan tiba. Mau berharap apa?

Sutradara dan produser membuat karya untuk menghibur penonton sepertiku. Sedang kami, menikah dan memilih akhir kisah ini bukan untuk mengesankan siapa-siapa.

Memilih bertahan dengan menjadikan Khoirul sebagai alasan hanya akan membuat kami menjadi manusia yang egois. Aku tahu. Dan aku yakin, Mas Hadi juga menyadari itu.

Dulu, aku pernah menjadi manusia paling idealis. Bagiku, pernikahan adalah janji sakral sepasang insan kepada Tuhan. Langsung. Tanpa perantara. Dosa yang diperbuat pasanganku, adalah tanggung jawabnya kepada Tuhan. Bukan kepadaku. Begitu pula sebaliknya.

Namun, idealisme itu terpatahkan saat kecurigaanku mencuat; saat satu per satu bukti perselingkuhan Mas Hadi muncul ke permukaan. Ketakutan itu untuk kali pertama hadir dalam benakku.

Aku pernah begitu takut kehilangannya sebelum hari naas itu.

Segalanya terjadi begitu tiba-tiba. Seperti momen saat Mas Hadi mengutarakan perasaannya padaku, akhir kisah kami juga sesuatu yang tidak pernah kuduga.

"Perceraian kita ...."

Aku bisa mendengar suara Mas Hadi yang bergetar. Sejak kami tiba di halaman sebelah kiri gedung pengadilan, dia terus memainkan jemarinya; hal yang selalu dia lakukan saat merasa gugup.

"Ini nggak akan mudah, Ama."

"Tapi, akan jauh lebih sulit kalau kita bertahan, Mas."

Mas Hadi mengangguk. "Ini juga pasti akan melukai Khoirul."

"Apa pun keputusan kita, dia akan tetap terluka. Mau sekarang, sepuluh tahun, atau bahkan dua puluh tahun lagi. Itu nggak akan pernah ngubah kenyataan kalau kita sudah melukainya, Mas."

"Benar. Aku sudah melakukan kesalahan besar kepada kalian."

Suasana hatiku sungguh aneh. Sejak tadi, aku sama sekali tidak merasakan emosi apa pun. Kejadian demi kejadian membawa perasaanku menuju sebuah ruang hampa. Aku terlalu lelah untuk bersedih apa lagi menangis. Aku hanya ... tidak merasakan apa-apa.

"Maaf karena tidak ada untukmu saat kamu terpuruk, Ama. Maaf karena aku justru mencari kesenangan di tempat lain saat kamu sibuk memperbaiki hubungan kita." Mas Hadi menghela napas panjang. "Mungkin akan beda ceritanya kalau aku nemenin kamu. Kalau kita bergandengan tangan melewati setiap ujian."

Aku menatap Mas Hadi yang kini terisak di hadapanku. Air mata itu dan semua kalimatnya, bukankah sekarang sudah terlambat?

"Aku juga bersalah," kataku pada akhirnya. Aku memegang dadaku. "Aku begitu bodoh. Aku terlalu sibuk dengan semua persoalan yang terjadi hingga tak sadar ada yang rusak di sini."

Mas Hadi menggeleng. Dia mencoba meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. "Jangan pernah berpikir bahwa semua adalah salah kamu. Buat aku, kamu adalah istri yang baik. Dan buat anak-anak, kamu adalah ibu yang hebat."

Lihat selengkapnya