Kota J, Mei 2020
Sudah hampir satu tahun, tapi aku harus selalu beradaptasi.
Orang-orang di sini datang dan pergi.
Aku bertemu begitu banyak orang baru yang mirip denganku. Beberapa dari mereka bahkan memiliki gejala yang lebih parah. Kadang mereka menyapaku ramah, tapi di lain waktu kami seperti manusia asing yang belum pernah berjumpa.
Suara tangisan, orang tertawa, bahkan teriakan yang tiba-tiba sudah menjadi hal yang biasa di tempat ini. Awalnya, aku terkejut hingga perlahan itu semua menjadi lumrah dan wajar.
Aku tahu semua orang yang berada di rumah bahagia ini memiliki tujuan yang sama: krluar dari tempat ini dengan mental yang lebih stabil.
Sebenarnya, tidak ada yang berbeda dari tempat ini. Dari luar, tempat ini sama seperti rumah sakit pada umumnya; warna tembok yang pucat, pagar tinggi di sekeliling bangunan, keramik putih beraroma steril, juga ambulan yang terparkir di depan bangunan utama.
Berbeda dengan bangunan luar yang tampak pucat dan suram, dinding bagian dalam di cat dengan warna biru muda yang terkesan lembut dan dingin. Tak terlihat lagi dinding kusam dan nuansa rumah sakit yang kental. Aku seperti tengah berada di sebuah rumah singgah. Hanya saja suasananya terasa asing.
Saat tiba di sini, barangku diperiksa. Aku tidak diperkenankan membawa apa pun selain pakaian, handuk, selimut, dan alat mandi. Mereka juga sempat memberiku pulpen dan buku harian kecil berwarna merah muda.
Aku ditempatkan di sebuah kamar yang ruangannya paling dekat dengan bangunan utama. Ada tulisan 'Kamar Tidur Pasien Tenang' di ujung koridor sebelum kamar ini.
Selain aku, ada tiga orang lain yang menempati ruangan itu; Rima, Bu Lala, dan Bu Khanza.
Kamar yang kami tempati sangat sederhana. Hanya ada lemari kecil dan satu ranjang permanen untuk masing-masing dari kami.
Kegiatanku selama di sini juga sangat terorganisir. Aku mulai melakukan banyak hal sejak hari pertama tiba di tempat ini. Bangun tidur, membersihkan diri, pemeriksaan rutin, kegiatan rehabilitasi, istirahat, makan, konseling, lalu tidur lagi. Rutinitas itu kami ulangi di jam dan waktu yang sama setiap harinya.
Aku masih ingat kejadian hari itu. Kejadian yang mengantarku pada titik saat ini.
Hari itu, Dokter Sam memintaku membawa buku harian merah muda yang diberikan saat pertama aku tiba. Dua hari sebelumnya, dia memintaku menuliskan kisah hidup yang paling kuingat. Itu jadi pekerjaan rumahku.
Aku baru bisa menulis dengan tenang saat semua orang di ruanganku sudah terlelap.
Awalnya, aku tidak tahu tujuan sebenarnya. Aku hanya meyakini jika tugas itu diberikan dengan tujuan agar aku bisa melepaskan emosi yang terpendam. Lalu, aku baru sadar begitu Dokter Sam menandai setiap kata yang merupakan jenis emosi negatif dari tulisanku. Rupanya, terlalu banyak emosi negatif yang selama ini tidak bisa kukelola dengan benar.
Aku merasa begitu lega ketika keluar dari ruang konseling satu hari itu. Ada sesuatu yang terangkat dari dalam hatiku. Sesuatu yang selama ini memberatkanku.
"Halo, Mbak Rahma. Gimana konselingnya?"
Aku cukup terkejut dengan pertanyaan dari orang yang tiba-tiba muncul di belakangku. Itu Rima, teman sekamarku. Dia adalah gadis berumur dua puluh lima tahun yang dirawat sejak satu tahun lalu akibat skizofrenia yang dia derita.
"Kamu mau ke day care sama aku, Mbak? Mereka lagi ada demo memasak," tanyanya lagi tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaan yang dia lontarkan sebelumnya.
Aku mengangguk setuju. Kami berjalan beriringan melewati lorong panjang ruang konseling menuju aula utama bangunan. Di sana ada sepuluh orang dengan alat masak di depan mereka. Seorang petugas berdiri di depan sembari memberi instruksi. Semua orang di ruangan itu melakukan setiap perintah dengan serius.
Selain gym, kerajinan tangan, tata rias, berkebun, rumah sakit juga menjadikan tata boga atau kelas memasak sebagai salah satu kegiatan rehabilitasi yang kami sebut dengan day care.
Awalnya, segalanya berjalan lancar. Tapi, tiba-tiba sesuatu terjadi. Salah seorang dari sepuluh peserta menjerit histeris. Pasien lain panik dan berlarian. Tim pengamanan dengan sigap mengamankan semua benda tajam dan barang berbahaya di ruangan.
"Kamu tahu siapa dia, Mbak?"