TITIK BUTA

Shireishou
Chapter #2

Bab 1 - Bocah Tengil dan Om-nya

“Om! Lama bener, sih! Keburu laper!” keluh seorang bocah perempuan yang kini sedang duduk dengan kepala terkulai beralaskan tangan di meja. 

“Nasi sudah matang. Kamu bisa makan nasi dengan nori kalau benar-benar lapar,” balas pria yang tengah sibuk mondar-mandir di dapur sebuah rumah mungil di tepi Jakarta. Suara desis wajan terdengar merdu diselingi suara cipratan minyak dari telur ceplok yang sedang digoreng.

“Nori lagi nori lagi!” Suara tidak senang menguar dari bibir mungil bocah itu.

“Tika, Om sudah buatkan oseng tahu pakcoy, kan? Kamu malah minta telur ceplok.” Suara pria itu tetap tenang ketika mengangkat telur ceplok dari wajan.

“Udah aku bilang bolak-balik, jangan panggil aku Tika! Panggil aku Pram. Aku nggak suka nama cewek!” protes Pram keras. “Dasar Om Nunu pikun, ih!”

“Namamu Pramestika. Rasanya tidak manis kalau Om panggil kamu pakai Pram.” Pria itu meletakkan piring berisi telur ke depan Pram yang masih cemberut.

“Ih… Om! Mama dan Papa juga manggil aku Pram!” protes Pram masih tak mau kalah. 

Kali ini Danudara Abhiyaksa menarik napas panjang. Kemenakannya yang masih berusia sebelas tahun ini memang luar biasa menggemaskan dalam berbagai arti. Meski perempuan, tapi kelakuannya tidak ada manis-manisnya. Rambutnya dipotong pendek seperti laki-laki. Gaya bicara juga sikapnya tidak ada anggunnya sama sekali. Dia bahkan langsung memberinya nama panggilan ‘Nunu’ ketika pertama kali mereka bertemu. Padahal, semua orang memanggilnya Danu.

“Ya sudah, sekarang makan. Nanti kamu ketinggalan bus ke pesantren kilat. Kumpul pukul tujuh di sekolah, kan?” Nunu akhirnya menyendokkan nasi ke piring berisi telur dan menyorongkannya ke arah Pram.

Dengan malas, Pram pun menegakkan tubuh dan mulai makan. Sebenarnya, harus dia akui kalau masakan Om-nya ini sangat enak. Bahkan telur ceploknya saja luar biasa sedap! Gurih dan renyahnya pas sekali. Kadang Pram curiga kalau Om-nya ini sebenarnya adalah seorang koki restoran bintang lima. 

Namun, harga diri Pram menolak mencoba memakan tumisan yang dibuat pamannya itu. Sejak dulu, Pram benci sayuran. Masa dia harus mengalah dengan mencoba masakan Nunu? Gengsi dong!

Nunu menemani Pram makan dalam hening. Pram kadang bertanya-tanya ke mana pamannya pergi selama ini? Sebelum kecelakaan tunggal mendadak merenggut nyawa ayah dan ibu Pram beberapa bulan lalu, bocah itu bahkan tidak tahu keberadaan pamannya. Tiba-tiba saja Nunu datang dan berkata akan mengasuhnya. Kalau diamati, wajah Nunu memang sangat mirip ibunya, Ratna. Alis tegas yang menukik memberikan kesan judes jika tidak sedang tersenyum.

Pram sering mendengkus mendengar teman-temannya memuji betapa tampan pamannya itu. Rambut lurus hitam legam yang model belah tengah seperti oppa-oppa Korea membuat teman-temannya takjub.

Padahal, Nunu sehari-hari hanya memakai kaus oblong hitam polos dan celana jin biasa. Tidak fashionable seperti idol-idol di luar sana. 

Akan tetapi, Pram merasa sedikit kesal pada Nunu. Pria jangkung itu begitu bawel khususnya soal makan. Dia tidak lagi diizinkan jajan di sekolah. Makan siang harus dari bekalnya. Bosan! Apalagi selalu ada sayur! Pram tentu saja diam-diam membuangnya. 

Padahal, seandainya Nunu sebaik Bagas, ayahnya dulu, mungkin dia bisa betah tinggal bersama. Almarhum Bagas sangat memanjakannya. Meski berkali-kali Bagas mengeluhkan kenapa Pram harus terlahir sebagai perempuan yang harus ribet dengan segala aturan kesopanan dan kecantikan, tapi ayahnya tak pernah memarahinya. Pram dihujani segala macam perhatian dan nasihat yang lembut. Karena itu Pram merasa dirinya harus menjadi sosok impian sang ayah. Sosok yang mengukirkan prestasi meski dirinya belum bisa jadi feminin seperti harapan Ayah.

“Jangan lupa bekalmu, ya! Apa semua barang sudah masuk ke koper?”

Tuh, kan! Pram memberengut dan memilih menyalakan televisi.

“Berita terkini. Telah terjadi pembunuhan di kelurahan X, Jakarta Pusat dini hari tadi. Korban masih belum bisa dikenali karena wajahnya yang sudah hancur akibat pukulan benda tumpul. Korban adalah seorang pria yang diperkirakan berusia 35 tahun. Tidak ada identitas di tubuhnya. Korban terakhir mengenakan jaket parka berwana biru dengan lambang yang tertera di layar. Jika pemirsa kehilangan….”

Nunu menyambar remote dan mematikan salurannya. “Masih pagi. Kamu jangan menonton berita brutal. Tidak bagus untuk mentalmu.”

Cebikan Pram seolah meremehkan nasihat Nunu barusan. Usianya memang baru sebelas tahun, tapi dia sudah beberapa kali adu jotos dengan kakak kelas yang dulu pernah merundungnya. Tidak ada yang boleh mengganggu seorang Pram! 

Lihat selengkapnya