TITIK BUTA

Shireishou
Chapter #4

BAB 3 - Keputusan demi Keputusan

Hening menjeda ketika Nunu dan Sopian tenggelam dalam pikiran masing-masing. Apa yang harus mereka lakukan seterusnya? Usulan Sopian sempat menggelitik nurani keduanya. Mempertanyakan takdir dan harapan untuk hidup lebih layak dari yang mereka jalani sekarang.

“Ape Pram mo tetep sekolah di SDIT itu, Bang? Pan mahal?” Sopian kembali bingung mencari cara agar bisa membantu orang yang dihormatinya itu. “Kalau ini dijual, pan Abang kagak pusing lagi. Soalnya mau pindah sekolah juga udah nanggung. Pram udah kelas lima.” Sopian bisa melihat bola mata Nunu bergetar ketika dirinya menyebut nama Pram.

“Tapi, itu haram," balas Nunu pelan.

Ilok?” (Masa?) Keraguan Sopian diungkapkan dengan jelas. Pemuda itu masih berpikir bahwa menjual narkoba hasil temuan mereka tidaklah berdosa. 

Pertama, karena ini bukan barang mereka. Kedua, karena pembelinya toh sudah pasti kecanduan narkoba. Tidak apa-apa kan, kalau ditambah sedikit lagi? Apalagi orang sebaik Nunu, entah kenapa tidak diberi kelancaran rezeki oleh Allah. 

Sopian pernah memergoki Nunu sedang gamang melihat buku tabungan yang hanya bertuliskan tiga ratus ribuan. Itu pun Nunu masih sering menghadiahinya uang dengan berbagai alasan. Sopian merasa berkewajiban untuk membalas semua kebaikan Nunu.

“Bukan begitu cara berpikirnya, Yan.” Nunu mengambil tas merah itu dari pangkuan Sopian setelah mendengar dua alasan Sopian yang berpikir menjual ini tidaklah berdosa. “Meski seseorang telah melakukan dosa, bukan hak kita untuk menambah dosa orang tersebut. Malah kalau bisa, kita ajak agar tidak melakukan hal yang sama. Lagi pula, kalau diam-diam dijual, jatuhnya mirip menjual barang curian, bukan?”

Sopian berdecak. “Iya, sih, Bang. Habis, aye cuma kesel aja. Abang nyang begini baiknye, duitnya malah cekak. Eh, nyang punye narkoba malah hidup mewah. Jadi aye pikir, dicicip dikit ya boleh, kan?”

“Rezeki tidak akan tertukar, Yan. Mau pakai jalur haram ataupun halal, jumlahnya akan sama saja. Hanya, kadang kita lupa kalau rezeki setiap manusia besarnya tidak sama.”

Nunu meletakkan tas merah di antara kursinya dan Sopian. 

“Jadi, ini mau diapain?” Sopian memindahkan tatapannya dari tas ke wajah Nunu yang terlihat tak nyaman.

Suara debas terdengar cukup keras sebelum akhirnya Nunu berkata, “Biar aku sembunyikan dulu. Aku ada kenalan yang mungkin bisa memberi tahu, harus diapakan barang ini tanpa melalui birokrasi kepolisian yang rumit.”

Sopian pun mengangguk setuju.


***


Di lain tempat, Pram tengah bersenandung sambil memandang ke luar jendela. Bus yang ditumpangi bersama teman-temannya sudah meluncur sedari tadi menuju tepian kota Depok untuk mengikuti Pesantren Kilat selama tiga hari. 

Akan tetapi, jika anak-anak lain riang gembira duduk dengan teman sebangkunya, Pram berbeda. Dia justru tersudut di bagian belakang bus paling ujung, tepat di samping guru. Tidak ada satu pun murid yang mau memberikan kursi di sebelahnya untuk Pram.

Sebenarnya Pram tidak peduli harus dikucilkan seperti ini. Malah bagus. Dia tidak perlu memikirkan bahan obrolan apa yang cocok sepanjang perjalanan. 

Macetnya perjalanan, membuat kaki Pram mulai terasa pegal. Dia ingin mengangkat satu kakinya ke kursi. Namun, baru dia mengangkat sebagian, gerakannya tertahan.

“Tolong jalannya lebih halus. Om tidak mungkin datang untuk menjahitkan rokmu kalau sobek di pesantren."

Setengah misuh dengan suara pelan, Pram pun merapikan kembali posisi duduknya.

Sekarang, dia malah jadi terkenang Nunu. Pram ingat betul saat tiba-tiba pria itu datang menjemput ke sekolah dengan wajah pias dan langsung membawanya ke rumah sakit. Ayah dan Ibunya sedang koma. 

Masih segar dalam memori Pram bagaimana Nunu berulang kali memintanya untuk berdoa agar kedua orang tuanya selamat. Saat itu, Pram heran dan bertanya mengapa seolah Nunu tidak mau berdoa?

Saat itulah Pram bisa melihat pancaran kepedihan di mata Om-nya.

Lihat selengkapnya