Pram kabur dengan memanjat tembok pesantren?! Nunu yakin terjadi sesuatu. Meskipun sedikit sulit diatur, kemenakannya itu bukan tipe yang suka membuat masalah. Dia juga rajin belajar dan tidak pernah mengeluh perihal sekolah. Pasti ada hal yang membuatnya nekat melakukan itu.
Nunu berpikir keras. Saat ini Pram sedang mengikuti kegiatan pesantren kilat di daerah Depok. Besar kemungkinan dia masih ada di sekitar sana. Mustahil anak itu bisa pergi terlalu jauh karena uang yang diberikan Nunu untuk bekal tidaklah banyak. Guru memang melarang orang tua membawakan banyak uang demi keamanan. Lagi pula Pram masih terlalu kecil untuk bisa pergi ke mana-mana tanpa pengawasan orang dewasa.
Tapi, Tika badannya besar. Orang-orang mungkin tidak percaya dia masih SD. Dia juga banyak akal.
Nunu mengakui kemenakannya adalah anak yang cerdas. Sifat ambisiusnya juga bisa membuat bocah itu akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuan.
Nunu memutar otak. Dia harus menemukan Pram secepatnya. Situasi saat ini sedang tidak kondusif. Sangat berbahaya jika Pram berada di luar jangkauannya. Namun, dia membutuhkan bantuan untuk mencari kemenakannya. Nama Sopian berada di urutan pertama yang tercetus dalam benak pria itu. Dia segera menghubunginya.
Setelah mengucap salam yang langsung dibalas oleh Sopian, Nunu mengutarakan maksudnya. “Aku boleh meminta bantuanmu, Yan?”
“Ade orderan lagi, Bang?” Sopian balik bertanya.
“Bukan. Aku mau meminta bantuan yang lain.” Kalau soal orderan, Nunu tentu tidak perlu bertanya kesediaan Sopian untuk membantu. Itu pekerjaan mereka.
“Jadi, ade ape, Bang? Kalau aye sanggup, InsyaAllah aye lakuin,” balas Sopian tegas.
“Tika kabur dari pesantren.” Nunu mengawali dengan info itu.
“Astaghfirullah!” Sopian terperanjat. “Kok bisa, Bang?”
“Aku juga tidak tahu. Kalau Tika memberi tahu, itu bukan kabur namanya, Yan.” Nunu pun tidak menyangka kemenakannya akan melakukan hal itu.
“Lah iye, bener juga. Kabur pan kaga pamitan, ye?” Sopian menyengir malu. “Guru-guru di Pesantren begimana, Bang? Kaga bantuin cari?”
“Sudah,” balas Nunu terdengar frustrasi. “Tapi, sepertinya, Tika bersembunyi dari mereka jadinya tidak kelihatan. Mungkin berbeda kalau kita yang mencari,” tambahnya.
“Bener juge.”
“Aku harus segera menemukan Tika, Yan. Tapi, aku rasa akan lebih efisien kalau aku tidak mencarinya sendirian. Jadi, aku membutuhkan bantuanmu. Bisa?”
“Bisa! Bisa banget!” Sopian berseru menyanggupi.
Bagi Sopian, Pram bukan hanya kemenakan Nunu. Dia sudah menganggap anak itu seperti kemenakan sendiri. Tanpa diminta pun dia akan mencari Pram sampai ketemu.
Nunu memikirkan hal lain. Firasat buruk tentang tas temuannya semakin kuat. Tidak mustahil jika pemiliknya sekarang sedang kalang kabut mencari. Rumahnya bukan tempat yang aman untuk pulang saat ini.
“Yan, kamu ingat kuburan yang kita lewati saat mengantarkan barang pindahan Mas Ibnu?” Nunu rasa di sana lebih aman.
Sopian mengiyakan pertanyaan Nunu. Ketika melewatinya, dia sempat berseloroh mengatakan tempat itu adalah rumah masa depan setiap orang yang sering kali diabaikan. Banyak manusia lupa menyiapkan bekal untuk kehidupan yang lebih kekal.
“Kita bertemu di sana saja sebelum Isya, entah berhasil menemukan Tika atau tidak. Aku akan kirim titik lokasinya. Jangan bawa Tika ke rumah!” Nunu mempertegas kalimat terakhirnya.
Tanpa menanyakan sebabnya, Sopian menyetujui instruksi Nunu. Dia yakin pria itu memiliki pertimbangan sendiri dan saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya panjang lebar. Keselamatan Pram adalah prioritas.