Sopian sudah duduk di boncengan motor ojek online menuju ke terminal besar di Depok. Dia beruntung karena mendapat pengemudi yang lihai mengendalikan motor dan menguasai medan. Sesekali mereka keluar dari jalur yang ditunjukkan aplikasi dan berbelok ke jalan tikus untuk menghindari kemacetan.
Saat Sopian bercerita kalau sedang mencari anak hilang, tukang ojol itu bersedia membantu dan bergerak dengan sangat cepat.
Nunu dengan truk kecilnya tentu tidak akan mudah mencari. Sopian berpikir kalau Nunu akan meletakkan truk di rumah, baru kemudian mencari Pram dengan ojol. Sama seperti dirinya.
Terminal kota Depok Baru sudah terlihat. Mata Sopian menyusuri setiap sudut.
"Bang, aye tahu, Abang sibuk ngojol, tapi bisa bantu aye, nggak? Nanti aye kasih duit dua ratus rebu, deh! Tapi, temenin aye nyari Pram, ya?" Sopian mengeluarkan uang dua ratus ribu yang sempat Nunu berikan padanya.
Sang sopir ojol mengangguk dan memberikan nomor ponselnya agar mereka bisa berkomunikasi dengan lancar.
Sopian segera mengirim beberapa foto Pram ke supir ojol, dan mereka pun berpencar.
Terminal Depok baru adalah terminal terdekat yang bisa dijangkau dari pesantren tempat Pram tadi kabur. Sopian berpikir bahwa Pram mungkin akan bersembunyi tiga hari dua malam entah di mana.
Namun, dengan uang cuma sedikit, Sopian juga merasa ragu. Tidak akan ada penginapan yang mau dibayar semurah itu. Menginap sembarangan tentu tidak bagus bagi perempuan belia. Banyak kasus kejahatan seksual yang membuat Sopian ketar-ketir.
Terminal Depok penuh sesak dengan orang-orang yang sibuk berlalu-lalang. Mencari anak SD setinggi 138 senti jelas bukan pekerjaan mudah.
Sopian membasuh peluh yang menetes. "Die baru kabur beberapa jam lalu. Aye tahu die InsyaAllah ada di sini," ucap Sopian dengan napas terengah-engah. Dirinya berpisah dengan sang Abang Ojol agar meluaskan wilayah pencarian.
Jika Sopian menyusuri sisi luar terminal, Abang Ojol mencari di dalam pada deretan angkot-angkot yang tengah mengantre. Mata Abang Ojol tajam menyapu setiap sudut terminal, hingga akhirnya terhenti pada seorang gadis kecil dengan jilbab berantakan dan mata sembab yang duduk di sebuah bangku, tampak terlunta-lunta. Tas punggung gadis itu diletakkan sembarangan di sisinya.
"Itu dia! Pram!" seru Abang Ojol tertawa senang. Dia bergegas menelepon Sopian mengabarkan tentang keberadaan gadis yang sedari tadi mereka cari. Dia tidak mungkin langsung mendekat. Dia cuma orang asing. Bisa-bisa Pram malah langsung lari. Sopian adalah orang yang paling tepat untuk menghampiri.
Pram tampak mengusap wajahnya yang kotor karena air mata. Gadis itu tidak ingin menangis. Namun, mengingat apa yang baru saja dialaminya, semua terasa menyedihkan.
Bagaimana guru di pesantren bisa lebih percaya ucapan dusta orang-orang itu daripada mencari bukti konkret tentang kesalahannya?
Jelas-jelas cutter itu bukan miliknya!
Jelas-jelas dia yang terakhir masuk bus dan ada guru di belakangnya antre memasukkan tas ke bagasi!
Mana mungkin dia bisa melakukan hal seabsurd itu?!
Hanya karena penuduhnya adalah anak dari orang yang paling banyak menyumbang di sekolah, semua memanjakannya! Satu bulir air mata kembali menyusuri pipi.
Pram yang tidak tahan ditegur keras bahkan diberi hukuman menyalin Al Qur'an sebanyak dua juz, akhirnya memilih kabur. Memanjat tembok tinggi yang ada di sebelah pohon mangga bukan hal sulit baginya.
Namun, ke mana dia harus pergi sekarang? Jika pulang, apa yang akan Nunu katakan tentangnya?
Pram masih bimbang ketika suara yang familier memanggil namanya.
"Om Sopian?" Suara lemah Pram terdengar ketika melihat Sopian bersama seorang pria asing berjaket khas ojol.
Sopian ingin memeluknya erat penuh kelegaan, tetapi dia tahu, itu tidak boleh dilakukan. Pram sudah cukup besar dan Nunu melatihnya untuk tahu mana yang mahram dan bukan.
"Ayo balik," bujuk Sopian lembut.