Ada rasa perih yang terasa menyayat punggung Nunu. Seseorang telah berdiri di belakangnya lalu menorehkan sedikit luka menembus kemeja tipisnya sebagai peringatan. Pria itu beristighfar dalam hati. Dia lengah! Pikiran Nunu masih tidak bisa fokus sepenuhnya sejak mengetahui kematian Sopian dan kengerian yang sempat mengancam Pram. Siapa sangka jika ada orang yang tiba-tiba menodongkan pisau yang mungkin cukup besar dan mengancamnya.
“Jangan bergerak kalau lo nggak mau mati!” Suara penuh nafsu membunuh terdengar. Anak buah penjahat itu ternyata sudah mengincar nyawanya dari tadi!
Ada hawa dingin mengalir cepat ke penjuru tubuh Nunu. Membuat semua keraguan yang tadinya hadir, menyingkir pergi. Dirinya harus selamat!
Namun, apa yang harus dia lakukan jika….
Belum sempat Nunu menyelesaikan apa yang ada di pikirannya, suara familier terdengar diiringi langkah kaki yang tegap dan gagah. “Gue udah duga lo bakalan balik ke sini. Di mana tas gue?!”
Kali ini dada Nunu merasakan sebuah ledakan amarah melesak di dadanya.
***
Di tempat lain, Pram duduk diam di sudut kasur. Matanya masih sembab dengan air mata. Gadis mungil itu menunduk dalam. Rambutnya yang diikat satu di bawah tampak kusut masai. Seorang wanita muda mendampingi Pram dengan mata yang tidak kalah merahnya. Namun, senyum tipis tersungging di wajah pucatnya. Rambut panjang perempuan itu digulung ke atas dengan asal, tetapi tidak memudarkan kecantikan alami yang dimiliki.
Ruangan mereka temaram karena Pram diminta untuk tidur lebih cepat. Ruangan mungil yang menampung semua perabotan, didesain sederhana. Pemiliknya memang hanya mampu menghias rumah satu pintu dengan minimalis. Mungil, tetapi cukup untuk hidup.
“Pram, InsyaAllah aman di sini. Pram mau kan nemenin Empok ampe Bang Nunu jemput?” Suara perempuan muda itu terdengar sedikit bergetar, tetapi penuh ketabahan. Kelembutan yang dia harap mampu menenangkan gadis mungil di sisinya.
“Maaf … Mpok Yeni….” Suara Pram terdengar lirih dan penuh penyesalan.
“Sssh…. Ssssh….” Yeni merengkuh tubuh mungil Pram. Tangannya menepuk-nepuk punggung Pram penuh kasih. “Pram kagak salah. Sumpah!” Sejenak dia menarik napas agar air matanya tidak kembali tumpah. “Udah takdirnye Bang Sopian. Empok bangga punya calon suami kayak almarhum.”
Mendengar kata almarhum, isakan Pram semakin menjadi. Lengannya mengeratkan pelukan pada pinggang Yeni yang kurus. Hati gadis kecil itu hancur lebur. Awalnya, dia tidak tahu mengapa preman-preman itu mengejar. Namun, apa pun itu, jika dia tetap bertahan di pesantren, mereka pasti tidak akan menemukannya di terminal.
Tidak akan ada keributan untuk mencari Pram. Lalu, jika Bang Sopian tidak menemukannya, pria itu tidak akan meninggal.
Ya … Pram tahu kalau kematian Sopian adalah salahnya. Dan kini, dia telah membuat seorang perempuan kehilangan orang yang sangat dicintainya.
Hanya kata maaf berulang yang bisa Pram lakukan. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Akan tetapi, Yeni tetap memeluknya dengan erat. Sama seperti Pram yang mengeluarkan kata maaf berulang, Yeni terus menerus mengatakan bahwa Pram tidak bersalah dan semua akan baik-baik saja. Dia tidak menyangkal bahwa hatinya amat sangat hancur. Siapa yang tidak berduka ditinggal tunangan dengan begini mendadak?!