Nunu berlari sekuat tenaga demi menghindari para preman bengis itu sambil memegangi lengan kanannya yang berdenyut nyeri. Perih di punggung dan leher tidak seberapa jika dibandingkan dengan hatinya yang terluka karena kematian Sopian.
Setelah keluar dari gang ini ada pangkalan ojek di ujung jalan. Nunu bisa menggunakan jasa ojek untuk ke rumah Yeni daripada harus kembali ke rumah dan mengambil mobilnya yang masih terparkir di gang depan. Itu terlalu mencolok.
Dengan napas yang masih memburu, Nunu akhirnya berhasil menjangkau mulut gang belakang. Namun, dia segera menarik diri dan bersembunyi. Di sana ramai orang yang sangat asing di matanya. Tidak satu pun dari mereka dia kenali.
Nunu tahu semua wajah pengemudi ojek di pangkalan itu karena mereka adalah warga setempat. Mustahil kalau ada orang-orang baru yang menarik ojek di sana dan menggantikan seluruh pengemudi sebelumnya secara serentak.
"Mereka pasti komplotan preman tadi!" Nunu kemudian mengedarkan pandangannya mencari jalan lain untuk menghindari pangkalan ojek.
Jarak rumah Yeni dari sana tidak terlalu jauh, masih bisa ditempuh tanpa harus berkendara. Nunu hanya perlu berlari dengan hati-hati agar pergerakannya tidak diketahui oleh para preman yang tengah bersiaga itu.
Lengan kanan Nunu sekarang tidak optimal sejak peristiwa tahun lalu, diperparah oleh tendangan keras dari preman tadi. Punggung dan lehernya juga terluka. Namun, kakinya masih sangat kuat untuk memacu langkah sekencang yang dia bisa. Tekad untuk melindungi Pram juga membuatnya sanggup mengabaikan segala penderitaan fisik yang ditanggung. Pram tidak memiliki siapa pun lagi selain dirinya! Ia harus tegar!
Kedua kaki Nunu terus berayun tanpa henti, melewati deretan rumah dan beberapa pertokoan di pinggir jalan yang sudah tutup karena waktu semakin larut. Beberapa kendaraan yang kebetulan lewat atau berpapasan dengan Nunu pun tidak ada yang memedulikannya. Mungkin mereka pikir pria itu adalah atlet yang sedang bersiap untuk mengikuti perlombaan. Atau bisa juga dia dianggap orang sinting yang sedang berlari tanpa tujuan dan alasan.
Setelah berlari selama kurang lebih tiga puluh menit, Nunu sampai juga di depan rumah Yeni yang tak berpagar. Pria itu merapikan rambut yang sedikit berantakan setelah berlari.
Nunu mendekati pintu, tetapi urung mengetuknya. Ini sudah terlalu larut untuk membangunkan Yeni dan Pram. Lagi pula, dia bukan keluarga Yeni. Ada batas yang tidak boleh dilanggar. Dia juga tidak mau membuat perempuan itu menjadi bahan gosip oleh para tetangga.
Aku tunggu sampai pagi saja. Nunu mencari tempat untuk merehatkan diri yang tidak mencolok perhatian orang-orang. Bukan hal mustahil jika tiba-tiba para preman tadi berhasil mengejarnya sampai ke tempat ini. Jangan sampai sosoknya terlihat dari jalanan. Dia tidak ingin membahayakan Yeni.
Nunu meringkuk di samping rumah Yeni sambil memeluk tas ransel dan bersembunyi di antara tumpukan kardus tidak terpakai. Dia meringis tertahan ketika punggungnya bergesekkan dengan tembok. Perih kembali terasa, tetapi itu jelas bukan apa-apa. Dia sanggup menahannya.
Tubuh yang didera lelah nyatanya tidak serta merta mampu mengundang kantuk datang. Pikiran Nunu penuh sesak oleh peristiwa beruntun yang terjadi belakangan. Tas merah yang masih dia sembunyikan, juga kematian Sopian yang sangat disesalkan.
Pria itu memandang telapak tangannya lekat-lekat. Ada getaran tipis terlihat di sana. Dia masih bisa merasakan leher preman yang sempat dicekiknya ke tembok. Hampir saja …. Sedikit lagi ….
Nunu mengusap wajahnya kasar. Kebencian itu sempat menghilangkan akal sehatnya. Rintihan pelan penuh penyesalan meluncur pelan dari bibirnya yang terkatup rapat. Apa dia bisa tetap berpikir jernih tanpa dikuasai dendam?
Saat ini, Nunu tidak yakin. Dia hanya mampu memanjatkan doa dalam hati, berharap jenazah Sopian akan segera ditemukan, sehingga bisa dikebumikan sebagaimana mestinya.
***