Matahari tepat di atas kepala ketika Nunu dan Pram mulai bergerak lagi. Bekal makan siang yang Yeni beri sudah tandas seusai keduanya menunaikan salat Zuhur di musala yang ada di sisi kuburan. Saat ini, Nunu berpikir kalau dirinya harus menemui orang itu secepatnya. Namun, bagaimana caranya?
Nunu sudah tidak bekerja di sana. Orang itu tidak mungkin bisa ditemui tanpa tetek-bengek birokrasi sebelumnya. Nunu menarik napas panjang.
Dia duduk di sisi Pram di tangga musala. “Kita cari kos-kosan saja dulu agar kamu bisa istirahat. Untuk sementara, Tika belajar sendiri saja. Sampai semua kondusif, baru kamu sekolah lagi.”
Pram tidak menjawab dan pura-pura sibuk menali sepatunya. Wajahnya masih ditekuk. Kadang terlihat sedih, tetapi juga terlihat kesal sekaligus. Nunu tidak mengerti apa yang dipikirkan bocah itu.
“Kita mampir dulu ke minimarket membelikan beberapa kebutuhanmu selama di kos. Tidak usah keluar mencari makan. Om akan belikan mi instan, roti, dan apa pun yang setidaknya bisa membuatmu di kamar seminggu.”
“Kuota juga?”
Suara debas terdengar. “Ya, kuota internet juga. Namun, Om pegang akun Google-mu. Kamu tidak akan bisa menambahkan akun Google baru karena membutuhkan sidik jari Om.”
Pram mendengkus kesal. “Pram udah sebelas tahun, Om! Masa cuma boleh nonton youtube kids dan WhatsApp. Temen-temen udah pada punya Twitter atau Instagram sendiri. Aku doang yang nggak punya!”
Nunu meraih tangan Pram dan merengkuhnya penuh kasih. “Om tahu, Tika merasa kalau Tika sudah besar. Namun, sosial media itu, banyak bahaya di baliknya. Tika belum siap. Om sudah kunci playstore. Tika hanya bisa menonton atau berkomunikasi di WhatsApp dengan Om. Mengerti?”
Tika tidak menjawab.
“Mengerti?” ulang Nunu tegas.
“Ya…,” balas Pram malas. Dia heran mengapa Nunu selalu bicara bahasa baku kepada siapa pun. Pasti gara-gara nggak punya media sosial! Pram merutuk.
Nunu menepuk punggung Pram dan mengajaknya berdiri. Keduanya berjalan beriringan ke salah satu minimarket terdekat. Seusai memilih-milih aneka belanjaan, mereka bergerak ke kasir. Nunu menyerahkan kartu ATM untuk pembayaran debit.
“Maaf, Pak. Ini error terus.” Kasir tampak bingung dengan kartu yang sudah berkali-kali dia gesek ke EDC.
Nunu terkejut, tetapi dia bisa lekas mengambil keputusan mengingat ada yang mengantre di belakang. “Bisa dengan QRIS?”
Nunu langsung mengeluarkan gawainya dan melakukan pembayaran segera. Alhamdulillah masih ada sedikit dana di sana.
Dengan satu tangan mengangkat belanjaan yang cukup berat, Nunu keluar minimarket diekor Pram. Keduanya mencari tempat untuk berteduh sembari Nunu memeriksa M-banking.
Sebuah peringatan bahwa nomor rekeningnya terkunci membuat mulut Nunu ternganga. Bagaimana bisa nomor rekeningnya terkunci? Belanjaannya di apotek dan minimarket tadi sudah habis lima ratus ribu lebih. Memang cukup untuk Pram hidup sendiri di kosan selama seminggu meski sama sekali tidak sehat. Namun, bagaimana dia bisa mendapatkan kos-kosan jika uang untuk membayar biayanya saja tidak ada?
Istighfar berulang terdengar.
“Tika, maafkan Om. Sepertinya, kita akan tidur di kolong jembatan malam ini.”
“Hah?”
***