TITIK BUTA

Shireishou
Chapter #19

Telepon Misterius

BAB 18 – Telepon Misterius

Dua belas angka yang masih tertampil di layar gawai bersama dering itu Nunu abaikan. Saat ini ada hal yang lebih penting dibandingkan menerima telepon dari orang asing. Dia harus segera pergi dan sampai ke rumah sakit sebelum Bokem bangkit. Nyawa Pram sedang dalam bahaya! 

Benda pipih itu Nunu letakkan di dashboard. Dia lantas memacu mobil van curiannya itu dengan kecepatan tinggi. Nunu tidak memedulikan apa pun lagi selain keselamatan Pram. Dia bahkan melupakan fungsi rem dan nekat menerobos lampu merah. Untung saja tidak terjadi tabrakan, hanya terdengar suara klakson bersahut-sahutan sebagai pengganti cacian. 

Nunu melirik Pram yang semakin kehilangan rona pada wajahnya. Rembesan darah masih terlihat pada bagian dada yang sudah dia bebat. Nunu juga terluka, tetapi itu tidak menyakitkan dibanding melihat Pram yang sekarat. Jemarinya yang menggenggam setir berkeringat dingin

Ya Allah, tolong selamatkan Tika. Nunu terus memanjatkan doa selagi kedua tangannya fokus mengemudikan setir. 

Ponsel Nunu kembali berdering. Ekor matanya menangkap nomor asing. Nomor yang sama dengan sebelumnya. Mungkin itu penting, tetapi Nunu tidak ada waktu sekarang. Terlalu berbahaya jika menerima telepon sambil berkendara, apalagi dengan kecepatan tinggi. Menepi dulu hanya akan membuang waktu dan itu berisiko bagi keselamatan nyawa Pram. 

Dering itu akhirnya berhenti bersama layar gawai yang menjadi gelap. Nunu menoleh pada Pram sekilas dan hatinya terasa seperti dicabik-cabik binatang buas melihat kemenakannya semakin tidak berdaya. Pria itu semakin menancap gas.

“Tika! Syahadat, Tika! Tolong bertahan!” Fokus Nunu pecah antara memantau kondisi Pram dan memastikan mereka segera sampai di rumah sakit dengan selamat.

Nunu cukup familier dengan kawasan tersebut. Itu memudahkannya untuk menemukan rumah sakit terdekat. Setir dibanting ke kanan, mobil van itu melambat di dekat palang pintu otomatis. Nunu menekan tombol tiket, lalu kembali melajukan mobilnya dengan brutal menuju gedung Instalasi Gawat Darurat. 

Mobil itu diberhentikan sembarangan tepat di depan teras IGD. Nunu segera keluar dari mobil sambil berteriak meminta pertolongan. Pria itu bergegas membopong Pram dari kursi penumpang. Beberapa petugas medis tergopoh-gopoh mendorong brankar untuk menyongsong tubuh Pram, lalu segera membawanya ke dalam. 

“Pak, tolong mobilnya dibawa ke parkiran dulu,” ucap seorang sekuriti mengingatkan Nunu agar tidak menghalangi jalan. 

Nunu tidak mendebat. Pria itu menitipkan copy kartu BPJS-nya yang selalu ada di dompet untuk keperluan administrasi. Dia berlekas duduk kembali di kursi pengemudi dan mengemudikan mobil itu ke area parkir. Nunu sedikit kesulitan mencari tempat karena sepertinya rumah sakit itu sedang banyak pengunjung. Butuh waktu cukup lama sebelum akhirnya dia mendapatkan parkiran di bagian paling ujung.

Ponsel Nunu yang masih tergeletak di dashboard kembali berdering, membuatnya menghela napas dengan kasar. Nomor yang sama. Dia rasa panggilan masuk itu memang sangat penting. Namun, Pram jelas jauh lebih penting. 

Nunu kembali berlari ke IGD dan memastikan kemenakannya mendapatkan penanganan sesuai harapan. Syukurlah petugas mengatakan semua proses administrasi sudah selesai meski kartu BPJS-nya ditolak. Mereka menjelaskan bahwa sesuai peraturan yang berlaku, pemerintah tidak menanggung luka tusuk. Nunu memahami itu. 

Namun, satu pertanyaan muncul di benaknya, siapa yang menyelesaikan administrasi? Nunu perlu mencari tahu setelah kondisi Pram stabil. Saat ini, siapa pun yang membayar tidak penting dibanding keselamatan Pram. Dia tidak mungkin menolaknya.

Pram langsung masuk ruang operasi. Sementara itu, beberapa nakes yang melihat Nunu menderita banyak luka sabetan, tentu menawarkan pengobatan. Namun, dia menolak. Lukanya cukup dalam, tetapi tidak berbahaya. Dia tahu. Karena dia sudah sering mengalami hal seperti itu. Jika ada kotak P3K, Nunu bisa menanganinya sendiri. 

Saat ini, tidak ada yang bisa Nunu lakukan kecuali menunggu di ruang tunggu. Saat itulah, ponselnya kembali bergetar. Masih dari nomor yang sama. 

Pram saat ini sudah ditangani, jadi sepertinya tidak masalah kalau dia menerima panggilan itu dulu. Nunu bergerak ke luar mencari tempat yang sepi. Dia menemukan pintu menuju tangga darurat dan segera masuk ke dalamnya. Di sini kosong. Hanya ada tangga yang jarang dilalui orang. Nunu lalu menyandarkan diri pada selusur tangga dan mengangkat telepon

Lihat selengkapnya