Saat Semuanya Masih Sempurna-2
Minggu kedua, Juli 2019
Aldeva menarik kursi meja makan untuk Lexi ketika gadisnya itu bergabung di meja makan. Mama Aldeva tadi pagi membawakan nasi goreng untuk sarapan. Wanita berparas cantik yang berusia 41 tahun itu terlihat lelah. Meskipun begitu, Flo—mama Aldeva tetap mengulas senyum hangat pada Lexi ketika gadis itu menuangkan air putih ke dalam gelas.
“Bagaimana kabar kamu, Lexi?” tanya Flo.
“Baik, Tante. Terima kasih sudah memberi izin Lexi menginap.” Lexi menjawab sopan.
Flo mengulas senyum hangat itu lagi. “Tentu saja kamu boleh menginap kapan pun kamu mau. Kamu sudah Tante anggap anak Tante juga.”
“Mama,” Aldeva memprotes, “Kalau Lexi anak Mama juga, ya kali Aldeva pacaran sama sodara.”
Flo terkekeh ringan. “Dev, kalau Lexi adalah dunia kamu, sekalipun kalian beneran saudara, Mama nggak keberatan. Apapun, asal kamu bahagia.”
Mendengar penuturan mama Aldeva, Lexi tersenyum kikuk. Mama Aldeva memang baik. Namun, kadang Lexi merasa wanita yang telah menggelontorkan banyak dana untuk membantu bisnis ayah Lexi itu sebenarnya hanya peduli pada Aldeva selama pacar Lexi itu membuat bangga.
Lexi tahu, selama berpacaran dengan anak tunggal keluarga Garcia itu, sering kali Aldeva harus berlatih lebih keras, belajar lebih giat untuk memenuhi “target” dari mama papanya. Seperti tahun ini. Menjadi Ketua Senat adalah target yang harus dicapai Aldeva. Kapten tim Futsal SMA Cavendish itu bersyukur karena kandidat Ketua Senat yang sudah mendaftar sepertinya akan mudah untuk ia singkirkan. Terlebih predikat Aldeva sebagai siswa teladan dan berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik, ia sudah dua langkah lebih unggul dibandingkan dua kandidat yang lain.
**
Lexi membalik halaman buku diktat Kimia dan melanjutkan kembali menyalin tugasnya. Ditemani Aldeva yang sedang mengisi formulir berisi visi misi kandidat ketua Senat, Lexi menyempatkan tersenyum singkat menatap kekasihnya itu sekilas. Ia sedang di perpustakaan sekolah istirahat pertama pagi ini. Untuk beberapa menit, suasana hening menyelimuti tempat Lexi dan Aldeva. Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah suara jarum standing clock antik di sudut perpustakaan.
Hingga kemudian suasana hening dan nyaman di ruangan ini menjadi gaduh karena pintu perpus yang didobrak. Seorang siswa berjalan marah menghampiri Marcell—ketua Senat saat ini—yang sedang memilih buku di rak samping tempat duduk Lexi dan Aldeva. Siswa marah itu langsung mendorong tubuh Marcell hingga lelaki kelas XII itu tersungkur. Kegaduhan dimulai.
Siswa marah yang Lexi kenal bernama Itzan itu menindih tubuh Marcell dan mendaratkan pukulan bertubi-tubi di wajah oriental sang ketua Senat. Aldeva dan beberapa murid yang lain berhamburan memisahkan Itzan dari Marcell. Pun dengan Lexi. Gadis itu menahan tangan kanan Itzan yang sudah siap mendarat di wajah Marcell seraya memekik keras.
“Stop it you jerk!!”
Pekikan yang langsung menghentikan gerakan Itzan. Menyadari itu, murid lain segera memisahkan tubuh Itzan dari Marcell. Itzan menoleh tajam pada Lexi yang masih menggenggam kepalan tangan kanannya. Tak gentar, Lexi balas menatap tajam pemuda yang sedang dirasuki amarah itu.
Napas Itzan masih memburu. Amarah itu belum sepenuhnya surut. Ia masih bergejolak di pikiran dan hati Itzan. Namun, genggaman tangan hangat dan sorot tajam Lexi membuat Itzan perlahan menurunkan kepalan tangannya.