TITIK KEMBALI

Karla SB
Chapter #1

BAB 1

“Dik siti, maaf nggih, warung lagi sepi. Kue dik siti masih banyak yang sisa,” ujar bu Dwi dengan koyo cabe tertempel manis di kedua pelipisnya. Jarang sekali orang kampung kenduri melihat ibu Dwi tanpa kehadiran koyo andalannya tersebut. Entah benar karena ia sering pusing atau hanya sekedar kebiasaan saja.

“Nggak apa-apa mbak, mau ya apa lagi. kondisinya lagi seperti ini,” ujar ibu Siti mencoba tersenyum, walaupun bibirnya hanya mampu membentuk garis tipis, senyum masam.

“Kabeh gara-gara krismon!” seru seorang ibu lainnya yang bertubuh tambun bernama Sariatik tiba-tiba. Seruan tersebut disambut dengan anggukan setuju dengan penuh semangat oleh beberapa ibu lain yang sedang berkumpul disana.

Bukan rahasia lagi, semenjak krisis moneter melanda Indonesia, warung Bu Dwi yang hanya berjarak 2 rumah dari rumah ibu Siti itu menjadi tempat pelarian bagi ibu-ibu di kampung Kenduri, sebuah kampung kecil di daerah Surabaya barat. Ada yang berusaha mengutang dengan mengatasnamakan pertemanan dan rukun tetangga, ada pula yang beli seadanya uang dan kemudian meratapi kondisi perekonomian saat ini, dan ada yang hanya sekedar untuk berkeluh kesah tanpa beli apa-apa, mencari teman bicara. Ibu Sariatik atau yang lebih sering dikenal dengan ibu Atik tadi contohnya.

“ Ya Allah buu, saiki gaji suami ku dipotong separuh. Mau makan opo iki aku sama anak-anak ini,” keluh salah seorang ibu lainnya, antara benar-benar berkeluh kesah atau menyindir bu Dwi yang menolak diutangi untuk kesekian kalinya.

“La iyo bu, saiki apa-apa mahal kabeh. Toko’e cik Mey yo sepi, nggak laku wes bahan-bahan kue,” sahut bu Atik yang memang bekerja di toko bahan-bahan kue milik keluarga keturunan tionghoa didaerah pertokoan yang tak jauh dari kampung kenduri.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, ibu-ibu ramai membicarakan krisis yang melanda hampir seluruh dunia ini. Beberapa memberikan informasi-informasi terbaru baik dari televisi atau dari perkataan suami atau anak mereka yang sudah beranjak dewasa. Informasi yang diawali dengan kata 'katanya' itu, akan membuat percakapan menjadi panjang bagaikan tanpa akhir. Walaupun nanti ada saja ibu-ibu yang teringat akan jemuran atau masakan mereka di rumah.

Siti menghela nafas, tidak terlalu panjang sehingga tidak menarik perhatian para ibu-ibu lainnya, dan tidak cukup panjang pula untuk mengeluarkan kegelisahannya. Uang hasil penjualan kuenya sangatlah jauh dari harapannya. Bahkan untuk menjadi modal pembuatan kue selanjutnya saja tidak akan mencukupi. Sepertinya, ada perhiasan emasnya yang harus ia jual lagi untuk kesekian kalinya.

Tidak seperti ibu-ibu lain di kampung ini, wanita berusia hampir 40 tahun itu tidak terbiasa hidup serba kekurangan seperti sekarang. Suaminya, Joko, memiliki pekerjaan yang cukup baik di sebuah perusahaan besar. Gaji sang suami lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya dan dua anaknya. Ia berjualan kue hanya untuk sekedar menyenangkan dirinya sendiri. Selain itu, menjual kue adalah satu dari sedikitnya kegiatan yang diijinkan oleh suaminya.

Lihat selengkapnya