Siang itu, tidak seperti biasanya Pak Joko, suami bu Siti pulang lebih awal dengan muka yang terlihat sangat kesal. Ibu Siti jelas tahu ada kabar buruk yang akan dibawa oleh suaminya. Tapi ia tidak pernah menyangka jika kabar buruk itu adalah bahwa bahwa suaminya ikut terkena imbas dari PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Bu Siti terduduk lemas, ia terlalu terkejut saat mendengar berita itu. Tak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa suaminya, yang selalu ia banggakan karena memiliki karir yang cemerlang di perusahaan yang berskala internasional itu, harus berakhir seperti ini. Sang suami jelas naik pitam dan dengan marah menyalahkan segala pihak yang bisa dia salahkan. Dari bosnya, HRD, manajemen perusahaan, hingga akhirnya menyalahkan pemerintah yang dianggap tidak kompeten mengendalikan ekonomi Indonesia.
Kemarahan suaminya terdengar seperti orasi mahasiswa dalam aksi demo, seperti yang sering kali Bu Siti lihat di stasiun televisi. Bu Siti tidak mampu memberikan respon apa pun. Ia tahu bahwa tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun. Semua sudah terjadi, yang ia pikirkan adalah keesokan hari. Kebutuhan seperti makanan, listrik, biaya sekolah anak-anaknya, serta lainnya membutuhkan uang. Penjualan kue miliknya tidak lagi bisa memberikan keuntungan, dan ia juga tidak tahu sampai kapan bisa terus mengandalkan emas simpanan atau pesangon suaminya yang tidak seberapa. Bagaimana mereka akan hidup kedepannya.
Terbesit dalam pikiran Siti untuk pulang ke kampung halamannya di Pandaan dan meminta bantuan dari kedua orang tuanya. Namun, ia ragu karena suaminya memiliki ego yang terlalu tinggi, sehingga ia enggan untuk meminta bantuan dari keluarga istrinya. Walaupun orang tua Ibu Siti termasuk orang yang berada dengan memiliki perkebunan yang berhektar-hektar.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, ia tidak menyadari bahwa sang suami sedang memanggilnya. "Kamu dengar nggak sih aku ngomong?! Aku lagi stres seperti ini, kamu malah bengong nggak jelas kayak gitu" seru sang suami.
Sebelum sempat menjelaskan, Pak Joko sudah tidak sabar untuk melampiaskan kekesalannya sehingga melayangkan telapak tangannya ke pipi Iibu Siti. Dengan kesakitan dan mata berair, Bu Siti hanya menatap suaminya, berusaha untuk minta maaf sebelum sang suami berbuat lebih jauh lagi. Sayangnya, lagi-lagi dirinya kalah cepat dengan gerakan tangan laki-laki yang menjadi ayah dari kedua anaknya itu. Kembali Pak Joko menampar istrinya hingga kini terjatuh.
"Lain kali, kalau aku bicara, simak baik-baik! Ngerti!" lanjut sang suami dengan pandangan penuh kebencian, menatap Bu Siti dan menambah tendangan ke badan ibu Siti.
Sebenarnya bukan hal baru, Pak Joko sering bertindak kasar. Dari memecahkan berbagai barang hingga memukul istrinya, seperti saat ini, sering kali ia lakukan untuk melampiaskan kekesalan dan kemarahannya. Tetapi perilaku suami ibu Siti akan berubah 180 derajat apabila didepan orang lain, ia akan menjadi orang yang berwibawa dan menyenangkan.
Bu Siti, yang telah diajarkan untuk menjadi wanita yang taat pada suami, hanya mampu menerima semua perlakuan suaminya, baik dan buruknya. Lagipula ibu siti merasa, pria yang dinikahinya adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak pernah membiarkan ibu siti dan anak-anaknya kekurangan terutama dalam hal materi. Pak joko juga adalah seorang ayah yang baik, ia tidak pernah melampiaskan kemarahannya kepada anak-anaknya. Ibu Siti juga merasa lebih baik dirinya lah yang menjadi pelampiasan suaminya daripada anak-anaknya.