Mata Ibu Siti tertuju kepada siaran televisi yang pagi itu berisi berita-berita yang membuatnya tak nyaman. Berita tentang penembakan mahasiswa di Jakarta kemarin memang meresahkan hatinya, tetapi yang lebih mengkhawatirkannya adalah kabar tentang kenaikan harga rupiah terhadap dollar. Persediaan emas simpanannya sudah menipis, dan ia merasa cemas. Hanya beberapa perhiasan yang tersisa, sebuah gelang, dua cincin, dan kalung pemberian ibunya. Tanpa pemasukan dari suaminya, Ibu Ibu Siti tidak berani lagi memproduksi kue-kue jualannya, khawatir akan merugi.
Setelah di-PHK (PHK: Pemutusan Hubungan Kerja), suaminya justru semakin sering uring-uringan dalam segala hal, apa pun itu. Bahkan hal kecil seperti saat anaknya meminta uang jajan sampai rasa kopi yang dirasanya tidak pas bisa membuatnya murka. Setiap kemarahan selalu berujung pada menyalahkan pemerintah yang dianggapnya tidak mampu mengurus negara. Ia selalu mengkritik bagaimana seharusnya para pejabat bertindak. Ibu Siti harus hati-hati dalam berbicara dan bertindak agar kemarahan suaminya tidak lampiaskan padanya.
Tetapi siang itu, perilaku suaminya terlihat agak berbeda. Ia terlihat senang saat pulang dari pertemuan dengan teman-teman kerjanya yang juga telah di-PHK. Kegembiraan suaminya itu membuat Ibu Siti merasa heran.
"Lagi seneng banget pak?" tanya ibu Siti melihat suaminya yang senyum-senyum sendiri.
“Tak kasi tahu kamu rahasia, Sini!” panggil pak joko sembari menggerakkan dua jarinya, seakan-akan memanggil istrinya dengan gaya. Ibu Siti menurut saja dan mendekat, sedikit berharap bahwa rahasia yang akan suaminya beberkan adalah tentang pekerjaan baru nya.
“besok malem bakal ada demo,” bisiknya yang membuat ibu Siti semakin heran. Di perekonomian seperti sekarang demo bukanlah hal baru yang perlu dirahasiakan. Melihat sang istri yang hanya mengeryit, pak Joko malah semakin melebarkan senyumnya.
“Demo itu cuma kamuflase. besok mereka, akan mengambil alih semua toko-toko punya’e cina-cina itu. Dan kita akan ikut!” tutupnya dan menunggu reaksi sang istri.
“Kita mau nyolong mas? Nggak mau aku. Dosa mas!” sanggah ibu Siti dengan spontan.
“Nggak butuh duit emangnya kamu! Ini bukan nyolong, kita cuma mengambil kembali milik kita, milik para pribumi,” ujarnya dengan penuh kebanggaan.
“Aku nggak mau nyolong mas,” pinta ibu Siti lagi dengan takut-takut, khawatir sang suami akan main tangan lagi.
Pak Joko kemudian berorasi bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah mencuri, melainkan mengambil kembali hak-hak yang seharusnya menjadi milik mereka sebagai warga pribumi. Siti merasa takut dan bingung, di satu sisi ia tidak ingin pergi, tetapi di sisi lain, ia takut dengan marahnya suaminya jika ia terus membantah.
***
Ibu Eni menghela nafas melihat Pak Heru lagi-lagi berdiri di depan rumahnya. Sambil menenteng berkas-berkas di dalam tas kulit coklatnya, Pak Heru tampak sumringah sambil menyapa Bu Eni. Namun sayangnya suasana hati Ibu Eni buruk pagi itu, dan ia harus segera pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya.
Dengan mengucap kata maaf yang tergesa-gesa, bu Eni melewati Pak Heru dan naik ke dalam bemo berwarna merah bata yang berhenti tak jauh dari rumahnya, kemudian pergi begitu saja, tanpa memberikan banyak penjelasan. Meninggalkan pak heru yang telah kehilangan senyumnya.
“InsyaAllah 1-2 hari lagi bapak boleh pulang bu, sambil kita pantau dulu kondisinya,” jelas pak dokter yang usianya mungkin tidak jauh dari ayah Ibu Eni itu. Baik Ibu Eni maupun ayahnya tersenyum lega mendengar hal tersebut. walaupun masih ada hal yang bercokol di hatinya, masalah biaya. Biaya rumah sakit sang ayah yang belum terselesaikan.
Ibu Eni tahu bahwa ia tidak bisa menambah beban pikiran ayahnya yang masih dalam masa penyembuhan. Namun, uang yang mereka butuhkan tidak akan muncul dengan sendirinya. Ia merasa terpaksa harus membicarakan masalah penjualan rumah kepada ayahnya. Tentu saja, sesuai dugaan, ayahnya marah besar. Akhirnya, untuk menenangkan sang ayah, Ia berjanji akan mengusir Pak Heru jika berani datang lagi. Ia tidak ingin tekanan darah ayahnya meningkat lagi karena masalah ini.
Ibu Eni pulang dengan pikiran yang amat sangat rumit. Ia merasa tertekan dengan masalah biaya dan terpaksa harus berurusan dengan Pak Heru yang tampaknya tetap memaksakan diri untuk membeli rumah mereka. Ia berharap ada solusi yang bisa membantu mengatasi semua masalah ini tanpa harus mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan keluarganya
***