Walaupun menanggung malu karena dicemooh suaminya, akhirnya Ibu Siti bersama ketiga sahabatnya mantap untuk ikut berangkat. Sebelumnya, mereka membuat janji, untuk meminimalisasi dosa, hanya mengambil secukupnya dan seperlunya saja. Setelah itu, mereka akan segera pulang ke rumah masing-masing.
Berbeda dengan Ibu Siti yang pergi bersama suaminya, Ibu Atik justru sengaja tidak memberikan informasi apapun kepada pak Yudi, karena ia tahu pasti akan dilarang. Untunglah hari ini, sang suami sedang keluar kota, sehingga ia bisa melaksanakan aksinya tanpa hambatan.
Ibu Dwi, yang sebenarnya tidak terlalu merasa kekurangan dan hampir tidak ikut, akhirnya ikut atas dasar solidaritas dengan teman-temannya dan juga mengingat seberapa besar utang di warung yang akan segera ter bayarkan.
Keempatnya memberikan alasan yang sama kepada keluarga mereka, ziarah ke Sunan Ampel, karena kebetulan hari itu bertepatan dengan malam Jumat. Anak-anak mereka tidak merasa aneh, karena kegiatan ziarah itu memang sering dilakukan oleh ibu-ibu di kampung mereka. Walaupun Sari, anak Bu Dwi, sempat mengutarakan keanehannya karena tiba-tiba ziarah ke Ampel walaupun tidak ada hari besar Islam yang berdekatan dengan hari itu. Tetapi karena pada dasarnya anak gadis Bu Dwi itu cuek dengan kegiatan ibunya, ia tidak perlu menunggu jawaban sang ibu untuk menyetujui kegiatan itu. Paling tidak pikirannya bisa teralihkan dari kakaknya yang menyebalkan, batinnya.
Akibat menggunakan alasan ziarah, mereka harus menggunakan pakaian yang mencerminkan kegiatan mereka saat ziarah. Para ibu-ibu bersiap-siap dengan busana muslim mereka masing-masing.
Malam itu, mereka bertemu di sebuah lapangan tak terpakai, sekitar 1 km dari kampung kenduri. Beberapa truk sudah menunggu mereka, disertai orang-orang berbaju hitam yang berwajah serius dan terlihat ketus.
Bersama Pak Joko, keempat ibu-ibu itu kemudian ikut menaiki sebuah truk besar yang sudah berisi banyak orang di dalamnya. Tanpa menghiraukan berdesak-desakan, Ibu Siti merasakan kegugupannya, hatinya masih bertarung antara benar dan salah tindakannya ini. Namun, tidak dapat dipungkiri, ada secercah perasaan senang dan bergairah, bagaikan anak sekolah yang akan pergi berlibur bersama teman-temannya.
Truk bergerak perlahan, melaju ke tujuan mereka. Di dalam truk, ketegangan dan kecemasan terasa begitu kental, namun juga ada rasa persaudaraan di antara keempat sahabat itu. Mereka saling memberi semangat dan menenangkan satu sama lain. Ibu Siti mencoba untuk menyingkirkan perasaan gugupnya, berusaha untuk bersikap tegas dan yakin dengan keputusannya.
Truk besar pun berhenti di suatu daerah pertokoan dan dengan sigap beberapa orang yang menjadi komando, berteriak-teriak menyuruh mereka turun. Keempat ibu-ibu itupun dengan gelagapan ikut turun.
“Dua truk akan menyisir jalanan ini, selebihnya akan lanjut ke daerah yang lain,” teriak seorang pria yang menggunakan busana serba hitam itu.
“Yang tidak bawa alat, bisa diambil di sebelah sana,” lanjut salah seorang teman pria tadi sembari menunjuk ke arah sebuah kotak kayu yang cukup besar.
Ibu Siti dan ketiga ibu lainnya hanya bisa celingak-celinguk, antara takut dan bingung. Mereka sudah membawa persiapan yang dibutuhkan. Tidak banyak, hanya beberapa tas besar kosong yang terlipat rapi, botol minuman yang terisi penuh, beberapa camilan, dan nasi bungkus, mengingat mereka akan perlu banyak tenaga, juga ada tisu baik yang kering maupun basah, plester dan perban apabila ada yang terluka, gunting dan pisau, entah untuk apa, yang penting dibawa dulu. Tidak lupa juga, persediaan koyo cabe untuk ibu Dwi. Tidak banyak, untuk ukuran ibu-ibu.
Di sana ternyata sudah cukup ramai dan meriah, dalam arti yang menakutkan. Ban-ban ditumpuk dan dibakar di jalanan, membuat asap gelap yang membumbung tinggi melampaui rumah-rumah hingga ruko-ruko tiga lantai yang ada di seberang jalan. Teriakan-teriakan seperti ‘serbu’’serang’ dan ‘bakar’ ikut menambhkan kengerian disana
Para ibu-ibu itupun ketakutan, bukan hanya karena suasananya, tetapi juga karena melihat polisi dan tentara-tentara yang berjaga tak jauh dari sana. Tetapi setelah melihat orang-orang mulai ramai mengambil hasil jarahan, dan melihat polisi serta tertara tadi tidak melakukan aksi apapun, keempat ibu-ibu ini mulai mengumpulkan segenap keberanian mereka dan melakukan aksinya.