Betapa kaget mereka berdua dengan pemandangan yang mereka saksikan. Empat orang pemuda sedang mengerubungi seorang wanita bertenis Tionghoa yang meronta-ronta sembari menangis. Baju wanita itu terlihat sudah tidak beraturan, terbuka di tempat yang tidak seharusnya terbuka. Di sisi lain ruangan tersebut, seorang pria yang juga beretnis sama terikat pada kursi, juga sambil menangis mencoba melepaskan diri.
Tentu saja, baik Ibu Eni maupun Ibu Siti tahu apa yang telah terjadi di sini. Tetapi keterkejutan mereka membuat tubuh mereka membeku, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa selain berteriak. Terutama saat melihat ada wajah yang mereka kenal di sana.
Kedua ibu-ibu yang ada di bawah segera lari ke atas saat mendengar teriakan Bu Siti. Pemandangan itu juga membuat mereka terhenyak.
"Astagfirullah, ada apa ini?" seru Bu Atik dengan suara yang menggelegar.
Kelima pemuda, yang usianya sekitar 20-an itu, sama terkejutnya dengan para ibu-ibu yang datang. Mereka pun gelagapan dan bingung mau melakukan apa.
"Abi!" teriak Bu Dwi saat melihat anak pertamanya berada di antara para pemuda yang sedang mencoba memperkosa wanita beretnis Tionghoa itu. Pemuda yang sedang memegang tangan wanita malang itu, tak lain dan tak bukan adalah Abi, anak laki-laki kebanggaan Bu Dwi. Abi melepaskan pegangannya dan mengalihkan pandangannya, seakan akan jika ia tidak bertatapan dengan ibunya, ia tidak akan dikenali.
Tetapi tentu saja ibu dwi mengenali anak laki-laki kebanggannya itu dan kekecewaan tergambar jelas di wajah wanita yang mendekati paruh baya itu.
"Astagfirullah nak, ngapain kamu di sini? Kamu … Ini … Astagfirullah ...!" jerit Bu Dwi. Ia histeris, bukan saja karena anaknya, yang sekarang harusnya menuntut ilmu di Jogja, telah membohonginya, tetapi juga karena anaknya, yang ia banggakan selalu, sedang berusaha menyakiti seorang wanita.
Tanpa babibu, Bu Dwi yang dipenuhi rasa marah dan kecewa, menggunakan tasnya untuk menyerang anak kandungnya sendiri. Sumpah serapah khas Surabaya, yang membuat ketiga sahabatnya terkejut itu, mengalir lancar dari mulutnya. Abi hanya bisa merintih memohon ampun dan minta agar ibunya berhenti.
"Nggak usah ikut-ikut kamu, kalau nggak mau jadi babak belur juga," ujar Bu Atik saat ada seorang pemuda yang mencoba menolong Abi. Badan ibu atik yang besar dan wajahnya yang sedang marah memberikan kesan sangar sehingga membuat para pemuda itu mundur dan hanya menyaksikan temannya dipukuli oleh ibunya.
Ibu Atik, memang terkenal penuh emosi dan mudah marah. Tetapi kali ini, ia berusaha menahan diri dan membiarkan kawannya yang biasa sabar itu melampiaskan semua kemarahannya.
"Kamu punya ibu, Bi!! Kamu punya adik perempuan!! Kok tega kamu menyakiti seorang perempuan!! Malu ibu sama bapakmu, Bi, malu!!" teriak Bu Dwi sambil tidak berhenti tangannya memukuli laki-laki yang ia lahirkan 22 tahun lalu.
Tahu tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ibu Siti memberi kode kepada dua ibu lainnya untuk membantunya menghentikan Bu Dwi dan juga mengusir para pemuda-pemuda tersebut. Ibu Atik dan Ibu Eni dengan sigap menyuruh semua pemuda-pemuda itu keluar dan pulang, jelas dengan peringatan sebelumnya.
Sementara itu, Ibu Siti berusaha menghentikan Ibu Dwi yang sekarang menangis meraung-raung. Karena mulai Lelah, Pukulan ibu dwi pun melemah, dan Bu Eni memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menarik Abi ke tempat yang tidak ada hempasan tas Bu Dwi. Sementara Bu Siti berusaha menenangkan dan memeluk Bu Dwi.