Ibu Dwi kemudian turun dengan dua orang wanita lainnya dan seorang anak laki-laki yang kelihatannya berusia tidak lebih dari 10 tahun. Kedatangan mereka disambut baik oleh teman-temannya di bawah yang sedari tadi bingung mau naik atau tidak. Mereka lega bukan main karena sekarang mereka tidak perlu lagi ke atas, dan siluet yang diceritakan oleh Ibu Siti ternyata adalah manusia.
Sama seperti Pak Steven, ketiga wanita yang turun bersama dengan Bu Dwi itu, semuanya beretnis Tionghoa. Satu di antaranya terlihat hanya beberapa tahun lebih tua dari mereka, tetapi wajahnya terlihat sangat layu, mungkin akibat syok dengan kejadian malam ini. Sedangkan dua yang lain masih terbilang anak-anak, yang mengingatkan para ibu-ibu itu dengan anak mereka masing-masing.
Ketujuh orang tersebut kemudian bingung bagaimana cara mereka bisa keluar dari rumah ini dan pergi ke hotel tempat pak Steven dan keluarganya mengungsi. Berbagai macam solusi sudah mereka coba sampaikan, dari dimasukkan di boks hingga digulung di karpet, yang terakhir adalah ide Bu Atik yang justru membuat mereka terkikik sendiri.
Untungnya, massa sedang bergerak ke tengah kota, sehingga di depan rumah yang tadinya ramai menjadi lebih sepi. Ketiga wanita yang diselamatkan oleh ibu-ibu ini, akhirnya menggunakan pakaian yang tertutup dan membawa barang-barang yang cukup tinggi menutupi wajah mereka, sehingga terlihat sedang melakukan penjarahan. Ibu-ibu itu juga terlihat membawa beberapa tas kosong sebagai kamuflase.
Di dalam mobil pun terjadi masalah. Mobil yang seharusnya memuat sekitar 8 orang sudah terlalu penuh sesak dengan barang-barang jarahan mereka. Sebagian besar barang bawaan harus dipangku oleh masing-masing orang, selain Bu Dwi yang akan menyetir tentunya. Walaupun kerepotan san sangat tidak nyaman, mobil yang penuh sesak itu justru menjadi keuntungan tersendiri, karena dari luar sama sekali tidak terlihat mobil tersebut membawa beberapa orang dengan etnis Tionghoa, melainkan hanya ibu-ibu yang membawa hasil jarahannya.
Mereka sampai ke hotel tersebut dengan selamat dan tanpa menarik perhatian berarti dari para perusuh. Ada rasa puas dan senang yang dirasakan keempatnya saat melihat keluarga itu berkumpul kembali.
Sambil saling berpandang-pandang, ibu-ibu itu kemudian saling memberikan kode untuk segera berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing. Sudah terlalu malam, hampir subuh malah.
“Bu, Bu, maaf, saya mau minta tolong, tolong selamatkan anak-anak saya bu,” pinta seorang ibu yang tiba-tiba muncul dari balik kerumunan orang-orang yang sedang memberi selamat pada mereka yang telah berkumpul kembali.
Ibu itu, sama seperti keluarga Steven, beretnis Tionghoa dan juga sedang mengungsi di hotel tersebut. Ibu Siti dan kawan-kawan jelas kembali bingung. Mereka sudah terlalu lelah, sudah ingin sekali pulang ke rumah masing-masing, tetapi wajah memelas dan gelisah sang ibu yang meminta mereka tersebut, membuat mereka merasa bersalah untuk menolak. Terlebih setelah tahu bahwa yang harus mereka selamatkan adalah dua anak perempuan yang masih remaja. Mereka kembali teringat kejadian yang dialami oleh adik Pak Steven.
Mereka meminta waktu dan menarik diri untuk berdiskusi sejenak. Ibu Atik dan Ibu Siti jelas keberatan, mereka sudah ingin pulang. Ibu Atik masih menyimpan sedikit dendam pada bosnya yang beretnis Tionghoa dan tidak mau terlibat lebih dari ini. Sedangkan Ibu Siti khawatir jika mereka terlihat membantu, mereka juga akan kena masalah nantinya, terutama ia khawatir ketahuan oleh suaminya.