Barang-barang di ruko di bagian atas hampir sudah habis dijarah, yang tidak dibawa pun mereka hancurkan. Untungnya barang-barang berharga sudah sempat diselamatkan oleh pemiliknya, sehingga tidak banyak lagi yang bisa dijarah. Dalam hati, baik ibu Eni maupun ibu Dwi bersyukur karena tidak akan banyak tambahan di mobil mereka. Mereka sudah cukup pusing mau memasukkan 5 orang lagi, 9 orang dengan mereka, ke dalam mobil boks pinjaman dari Steven itu.
Rencana awalnya, mereka akan pergi diam-diam saat para laki-laki menjarah. Tetapi pada kenyataannya, hal itu susah dilakukan, karena ketambahan beberapa orang penjarah lagi dan mereka bekerja dengan cepat naik-turun. Sehingga Ibu Atik dan ibu Dwi beserta 5 orang lainnya terpaksa bersembunyi terlebih dahulu.
“Ibu Dwi sama ibu Atik kemana sih? Kok nggak kelihatan dari tadi?” tanya Pak Joko pada istrinya.
“Di rumah sebelah mas, ibu Atik sakit perut. Ibu Dwi menemani dia aja,” jawab ibu Siti. Untunglah jawaban itu sudah mereka siapkan sejak awal.
“Kalau gitu, aku pamit dulu ke mereka,” lanjut Pak Joko.
“Jangan!” Ibu Siti dan ibu Eni menjawab secara bersamaan. Ibu Eni yang berdiri tak jauh dari Pak Joko dan Bu Siti, tidak sengaja mencuri dengar percakapan mereka.
“Ibu Atik lagi diare, Pak, jangan masuk,” kata Bu Eni setengah berbisik sambil mengernyit dan mengibaskan tangan kanannya di depan wajahnya, sebuah kode yang mereka ketahui bersama dengan semua artinya. Andai Ibu Atik tahu, ia pasti akan mengomelinya habis-habisan kawannya itu karena telah menjatuhkan harga dirinya di depan para bapak-bapak.
“Iya, Mas, jangan,” ucap Bu Siti membantu Bu Eni sembari menahan senyum. Pak Joko yang memang lagi senang, hanya tertawa saja
“Habis ini, Mas kemana? Masih ada toko yang belum dijarah kah, Mas?” lanjut Bu Siti mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Orang-orang katanya mau ke daerah Tunjungan sih, Ti,” jelas Pak Joko.
“Tapi kita mungkin mau ke Hotel yang ada disana dulu. Terlalu banyak tentara di daerah Tunjungan sana, massa juga sudah semakin banyak. Buat apa royokan sama orang banyak kalau ada tempat yang sepi,” lanjutnya.
Seketika dua ibu tersentak. Pak Joko dan kawan-kawannya akan ke hotel tempat orang-orang beretnis tionghoa itu bersembunyi. Memang kalau dari segi jumlah, tentunya rombongan Pak Joko akan kalah jumlah, walaupun sudah tertambah beberapa orang lain semenjak tadi, dibandingkan dengan pengungsi yang ada di hotel tersebut. Tetapi kebanyakan para pengungsi tersebut adalah wanita dan tidak memiliki senjata seperti Pak Joko dan lainnya.
Ibu Eni dan ibu Siti berusaha keras membujuk para laki-laki itu untuk ikut ke Tunjungan saja. Dengan menggunakan alasan bahwa pemilik hotel itu bukan etnis Tionghoa dan bahwa akan ada banyak hal yang bisa diambil di Tunjungan Plaza nanti serta tentara yang hanya diam saja. Karena sejak tadi mereka memang melihat para tentara dari kejauhan, dan tampaknya mereka membiarkan saja kerusuhan terjadi. Bahkan mereka menawarkan diri untuk ikut, kalau perlu. Tetapi para bapak-bapak tersebut tidak bergeming.
“Mau minta diambilkan apa, Bu, sama bapaknya? Baju? Sepatu? Udah, Bu, cukup banyak barang di mobil. Udah dapat mobil pula. Jangan serakah! Kasian Pak Joko,” ujar salah satu pria dari gerombolan perusuh tersebut sambil tersenyum, sedikit mengejek, ke arah Pak Joko.