Suasana mencekam menyelimuti area belakang hotel tersebut. Ibu Siti tidak habis pikir dari mana suaminya, mengenal para penjarah yang bengis ini. Mereka jelas-jelas tidak seperti mantan pegawai kantoran. Lebih mirip preman justru.
"Banyak nonik-nonik nih, enak kayaknya," canda salah satu penjarah, disambut tawa para teman-temannya. Perempuan yang merasa dipanggil nonik-nonik segera bersembunyi di balik badan yang lain.
Pak Hasan merasa tidak punya pilihan selain maju lagi. Ia mencoba membujuk sekelompok penjarah itu agar mengambil saja barang-barang yang ada di dalam hotel. Apapun itu, asalkan mereka mau melepaskan para korban-korban yang mereka sandera. Pak Hasan bahkan berusaha mengeluarkan segala dalil agama yang bisa ia ingat, berharap dapat meredam amarah dan kekejaman para penjarah.
Beberapa orang di antara gerombolan itu, mulai terkena bujukan Pak Hasan, terutama mereka yang datang hanya untuk ikut-ikutan. Mereka sebenarnya tidak memiliki masalah dengan para etnis Tionghoa dan merasa enggan harus membunuh mereka. Harta yang ada di hotel lebih menggoda bagi mereka, dan akhirnya, mereka mengikuti kehendak Pak Hasan.
Namun, sebagian besar penjarah, termasuk Pak Joko, sudah terlalu gelap mata. Mereka datang bukan untuk mencari harta, tetapi untuk menyingkirkan para etnis Tionghoa dari Indonesia. Entah suami Ibu Siti telah terlibat dalam perkumpulan macam apa setelah dia di-PHK, sehingga dia bukan hanya terhasut, tetapi juga menjadi penghasut di antara para penjarah tersebut.
"Kenapa jadi lembek semua?" kata seorang bapak yang berlagak sebagai pemimpin gerombolan.
"Kita bisa jarah semuanya, setelah kita habisi para cina ini," lanjutnya lagi sambil mengambil pisau yang tersembunyi di belakang celananya. Beberapa orang lainnya juga mengambil senjata masing-masing, seperti pisau, linggis, atau balok kayu. Termasuk Pak Joko yang sudah siap dengan posisi menantang, memegang pisaunya dengan mantap.
“Astagfirullah mas, Istigfar mas, Jangan ...,” teriak bu Siti melihat suaminya memegang benda tajam itu. Tetapi Pak Joko mengabaikan istrinya itu dan bersiap.
“Kalian sudah ambil harta kami, kalian hancurkan rumah dan toko kami. Sekarang kalian mau bunuh kami. Kenapa kalian harus sekejam ini? apa salah kami?” sahut seorang ibu tionghoa, tiba-tiba.
“Karena kalian nggak pantas disini, kalian sudah buat Indonesia hancur!” seru pemimpin penjarah tadi. Matanya menyala, penuh nafsu untuk membunuh. Ia melangkah maju, dan meletakkan pisaunya tepat di leher ibu tersebut.
“Cik mau duluan?” tanyanya sambil tersenyum sinis.
Dengan spontan, Ibu Atik langsung maju dan mendorong lelaki tersebut menjauhi wanita yang sempat bertikai dengannya tadi itu. Entah karena terkejut atau memang kalah tenaga dengan Ibu Atik, bapak tadi pun terdorong ke belakang. Hal tersebut menjadi pemicu penyerangan oleh para penjarah, yang merasa dihina oleh aksi Ibu Atik.
Ibu Atik, yang menjadi target awal, justru dengan mudah membalikkan keadaan. Para penjarah terlalu meremehkan kekuatan Ibu Atik, tanpa menyadari bahwa dia memiliki kemampuan melawan. Meskipun Ibu Atik sendiri seringkali tidak sadar akan kekuatannya.
Ibu Eni pun tidak ketinggalan unjuk gigi, sebagai anak dari seorang pelatih dan pemilik padepokan silat. Ia sendiri juga merupakan mantan pelatih silat di padepokan ayahnya sebelum menikah dan memiliki anak. Walaupun sedikit kerepotan dengan baju pengajian yang kini sudah cukup berantakan itu, Ibu Eni tetap mampu menunjukkan kehebatannya yang belum berkarat. Para ibu lain dan beberapa orang etnis Tionghoa juga berusaha membantu melawan para penjarah dengan alat seadanya.