Arsen kesetanan, tidak dipedulikannya teriakan beberapa orang. Matanya memerah, bibirnya terkatup rapat, dan kedua tangannya terkepal erat. Dia menabrak apapun, meninggalkan banyak tatapan heran di belakangnya. Itu terjadi tiga puluh menit yang lalu sejak sebuah notifikasi muncul di ponselnya. Dia meninggalkan makan siang untuk berlari ke parkiran. Kantornya menjadi semakin jauh ketika dia melarikan motor melintasi kemacetan.
Setelah melewati jalan-jalan sempit dan dimaki sepuluh ibu-ibu, di sinilah Arsen sekarang. Dia duduk di sebuah bangku besi dengan cat mengelupas yang dikelilingi banyak daun kering. Tidak jauh darinya ada satu anak laki-laki dan dua anak perempuan sedang bermain. Beberapa orang tua duduk di bawah pohon sambil menyantap makanan di kotak bekal warna-warni, sedangkan beberapa anak muda sibuk memainkan kamera dan berganti pose di depan air mancur. Taman kota di siang hari terlihat lebih menyenangkan dibandingkan raut wajah Arsen yang sibuk mendengarkan dering di ponselnya.
“Aku di bangku dekat kolam ikan,” Arsen memberi tahu lawan bicaranya dan mengangguk setelah mendapat sebuah jawaban yang entah apa. Dia kembali ke rutinitasnya, membaca komentar-komentar di sebuah thread yang sedang ramai dibicarakan. Sejak thread itu ditulis oleh Mbak Dea tiga hari yang lalu, Arsen mencoba mencari petunjuk di sana. Kemudian tadi pagi, sebuah nomor asing mengiriminya pesan. Bagi Arsen, itu adalah satu-satunya jalan untuk dapat menemukan Sina, orang yang sudah membuatnya berada dalam masalah besar.
***
Di sinilah semua bermula. Enam bulan sebelum duduk sendiri di taman kota itu, Arsen sedang duduk bersama keluarganya di ruang tamu rumah bapak. Ibu memicingkan mata dan tidak mengatakan apapun. Bibirnya mengerucut dan matanya beralih dari kertas undangan ke muka Arsen.
“Kamu lihat, dong, si Anto mau nikah,” ujar ibu.
Arsen mengerutkan kening, “terus?”
“Kapan kamu nikah juga?” tanya ibu dengan mata agak melotot.
Mas Aksa terkekeh melihat Arsen menghembuskan napas kesal. Pertanyaan semacam itu memang sudah sering dilontarkan oleh siapapun kepada adiknya, terlebih ibu. Mas Aksa sendiri tidak pernah menanyakan status Arsen yang masih jomblo di usia tiga puluh sebab dirinya dulu juga begitu sebelum akhirnya menikah dengan Mbak Dea.
“Gini aja,” ibu melepaskan kacamata dan menatap Arsen yang masih duduk ogah-ogahan di lantai bersama Boni, kucingnya, “kita semua di sini akan bantu kamu cari calon istri.”
Mbak Inge –kakak kedua Arsen- terkikik pelan, sementara Mas Enda –suami Mbak Inge- sudah tertawa keras bersama Mas Aksa. Hanya Mbak Dea yang tidak memberikan respon. Dia lebih asik makan gorengan dibandingkan mengurus calon istri untuk Arsen yang bahkan lebih tertarik mengelus-elus kucing di pangkuannya daripada mendengarkan omongan ibunya.
“Gimana, pak?” ibu meminta persetujuan bapak yang baru saja menyeruput kopi. Selain Mbak Dea, bapak juga salah satu anggota rapat keluarga yang terkesan tidak tertarik.
“Bapak, sih, terserah Arsen,” jawab bapak yang disambut dengan senyum kemenangan dari Arsen.
“Bapak nggak tegas sama Arsen. Dia sudah tiga puluh tahun, teman-temannya udah nikah semua, udah punya anak. Tapi bapak malah diemin dia,” ucap ibu sambil cemberut.
“Loh, ya, terus kenapa?” bapak membetulkan kacamata dan menatap istrinya. “Bu, nikah itu bukan lomba. Kalau memang belum ketemu jodohnya, masa’ mau dipaksa?” tambah bapak.
Ibu berdecak kesal, “pak, jodoh itu dicari bukan ditungguin aja.”
“Iya, bapak ngerti. Tapi manusia itu cocok-cocokan, bu. Belum tentu apa yang menurut kita baik, beneran baik buat Arsen. Arsen yang menjalani hidupnya, bukan kita,” balas bapak.
Ibu menggelengkan kepala, “pokoknya Arsen harus cepet nikah.”
Arsen melebarkan mata mendengar pernyataan itu. Dia menurunkan Boni dari pangkuan, kemudian bangkit dari lantai dan menuju kamar tanpa sepatah katapun. Ibu sudah memanggilnya lagi tetapi suara pintu yang tertutup keras membuat ibu langsung menghentikan teriakan. Malamnya, Arsen tidak bisa tidur. Sampai dini hari, matanya hanya menatap langit-langit kamar yang remang dengan telinga tertutup earphone.
“Mbak, aku juga mau semuanya gampang. Lulus kuliah, kerja, nikah, punya anak, hidup bahagia sampai tua. Gitu, kan?” Arsen memandang kesal ke arah Mbak Inge. “Tapi ternyata untuk mencapai standar hidup bahagianya orang-orang gak gampang, mbak. Aku capek dituntut terus-terusan,” lanjutnya.
Mbak Inge mengelus pundak Arsen, “biar nanti mbak sampaikan ke ibu.” Arsen tidak merespon. Dia membenarkan bantal, sementara Mbak Inge menatap adiknya itu dengan raut kasihan. Dia memilih keluar saat Arsen mulai merebahkan kepala dengan mata terpejam.
Arsen terbangun setelah maghrib. Dia keluar kamar hanya untuk wudhu. Puri –adiknya yang masih SMP- mengetuk pintu, menyuruhnya makan. Arsen hanya mengiyakan tanpa benar-benar melakukan. Dirinya masih mendengarkan lagu-lagu di ponsel dan matanya masih terus menatap langit-langit kamar hingga pukul dua dini hari.
***
Minggu pagi memang bagus untuk menenangkan pikiran, begitupun yang dilakukan Arsen. Dia sebenarnya baru tidur dua jam, tetapi telpon dari Gugun membuatnya lebih bersemangat. Pukul sembilan, dirinya sudah ada di suatu tempat dengan banyak pohon-pohon rindang. Sinar matahari setengah masuk dan menjadikan hawa di sekitar menjadi sejuk walaupun tidak banyak angin. Bau tanah yang agak basah dan suara burung-burung liar membuat Arsen merasa betah dibandingkan di rumah.
“Coy, diem aja. Ada apa?” Argi menghampiri Arsen yang berdiri di salah satu pohon. Matanya tetap tertuju pada istri dan anaknya yang sibuk berfoto.
“Emak gue,” jawab Arsen ogah-ogahan.
Argi menoleh kaget, “kenapa lagi?”
“Pengen punya mantu.”
“Kan udah punya dua,” balas Argi sambil tersenyum simpul.
“Dari gue,” balas Arsen dan langsung membuat tawa Argi meledak.
Sejak pertama kali mengenal Arsen di ospek kampus dua belas tahun yang lalu, Argi menjadi salah satu manusia yang melihat perjalanan kisah cinta Arsen. Dirinya juga sudah sering mendapati Arsen diburu banyak pertanyaan tentang istri, terlebih ketika mereka bertemu dengan teman-teman lama semasa kuliah. Tidak seperti orang-orang, Argi memilih untuk diam terkait masalah Arsen yang satu itu.
“Gue nyesel nikah, coy.” Arsen mengerutkan kening mendengar perkataan Argi barusan.
“Terus ngapain lo nikahin Rega?” timpal Arsen.
“Karena Rega satu-satunya cewek yang nerima gue,” jawab Argi, “dan gue nyesel nikah karena harusnya gue ngelakuin itu lebih awal.”
“Lo mau nyombong ke gue apa gimana?” tanya Arsen dengan ekspresi dongkol.
“Ha ha ha, nggak! Gue cuma mau ngasih tahu aja kalau nikah itu enak asal nikahnya sama orang yang tepat.”
“Masalahnya…”
“Nemu yang tepat itu nggak gampang. Gitu, kan?” tembak Argi dan dijawab anggukan oleh Arsen. “Ibu itu pengen anak-anaknya bahagia, termasuk ibu lo. Dia pasti pengennya lo diurus sama istri lo, soalnya dia nggak bisa selamanya ada buat ngurusin lo,” jelas Argi.
Argi melepaskan jaket dan memberikannya ke Arsen, “nih, gue mau main sama anak dan bini gue.”
Arsen mengumpat pelan setelah Argi meninggalkannya dengan jaket di tangan. Tetapi tidak lama matanya melihat ke arah Gugun yang baru saja muncul setelah tadi sempat menghilang dari mereka.
“Woy, gendut! Sini!” Arsen memanggil Gugun yang celingukan mencari sumber suara. Begitu mendapati Arsen, dia berlari menghampiri. Arsen tertawa melihat temannya itu ngos-ngosan di sampingnya.
“Ke mana aja?” tanya Arsen sambil memberikan air mineral.
“K-ke s-sana…,” Gugun menunjuk ke anak dan istrinya yang sedang melihat beberapa bunga, “t-tadi anak gue minta beli jajan dulu.”
“Kalian berdua sama aja,” timpal Arsen.
“Siapa?” tanya Gugun setelah meneguk air mineral.
“Lo sama Argi.”
“Kenapa?” tanya Gugun bingung.
“Istri sama anak terus,” jawab Arsen, “bercanda,” lanjutnya sambil tertawa.
“Nggak usah cemburu gitu, dong. Namanya juga udah nikah, yang diurus pasti keluarga. Kalau masih single yang diurus, ya, diri sendiri,” Gugun seperti tersadar dengan perkataannya lalu menoleh ke arah Arsen sambil nyengir, “hehehe, maaf… sengaja.”
Arsen ketawa dan memukul pundak Gugun, “makanya gue lagi nyari jodoh.”
Gugun membelalakkan mata dan menampar pipinya sendiri, “beneran?”
“Beneran,” jawab Arsen geli.