Arsen membuka pintu rumah tepat pukul sepuluh malam. Semua sisi ruang tamu agak remang sebab hanya disniari oleh sedikit cahaya dari ruang tengah. Arsen menutup pintu dengan sangat pelan agar tidak membangunkan yang lain, menguncinya sebelum berjalan ke kamar. Kamarnya berada di antara ruang tamu dan ruang tengah sehingga sebelum membuka pintu kamar, Arsen melihat ke ruang tengah. Di sana, bapak sedang melihatnya sambil membawa remote televisi.
“Sini, dulu. Bapak mau ngomong sebentar,” ucap bapak sambil berjalan ke ruang tamu dan menyalakan lampu. Arsen menurut dan duduk di sofa, diikuti oleh bapak yang duduk di kursi depannya.
“Kamu sekarang pulang malam terus,” bapak memerhatikan anaknya yang terlihat berantakan dengan kantung mata besar, rambut yang agak panjang, dan jenggot tipis.
Arsen membenarkan letak kacamatanya, “lagi banyak kerjaan jadi harus lembur, pak.”
“Tapi jangan berlebihan karena usiamu semakin bertambah juga. Selain kerjaan, kamu masih punya keluarga dan teman-teman,” ucap bapak. “Soal kemarin, bapak minta maaf,” lanjutnya.
Arsen mengangguk, “aku juga minta maaf karena udah ngomong lancang ke bapak, ibu, mbak, dan mas.”
“Bapak udah ngomong sama ibu dan kakak-kakakmu. Kami nggak akan ikut campur soal apapun lagi, baik itu jodoh ataupun kerjaan kamu,” bapak menghela napas pelan, “kami akan menyetujui apapun yang kamu lakukan selama itu baik dan nggak membuat malu keluarga,” jelas bapak.
“Aku tahu, kok, kalian semua ingin aku bahagia. Aku nggak keberatan, hanya saja aku nggak mau dituntut. Tapi makasih kalau aku udah dibolehin nyari jodoh sendiri mulai sekarang,” balas Arsen yang direspon bapak dengan anggukan pelan.
Bapak beranjak dari tempat duduknya dan menepuk pundak Arsen. “Sudah malam, cepat bersih-bersih badan terus tidur. Kamu udah makan?” tanya bapak sambil berdiri di sampingnya.
“Udah, pak,” jawab Arsen. Bapak tidak mengatakan apapun lagi dan melangkahkan kaki ke ruang tengah. Dia mematikan lampu di sana sebelum menghilang ke sebuah pintu yang terletak di samping ruang tengah. Arsen diam di tempatnya beberapa menit dengan wajah yang cukup cerah dibandingkan beberapa hari terakhir. Memang sudah tiga hari ini Arsen mendiamkan keluarganya, menjadikan rumah hanya sebagai tempat untuk mandi dan tidur. Dia berangkat ke kantor satu jam sebelum jam kerja dimulai. Dia mampir dulu ke Mang Awi atau warung kopi langganan untuk sarapan. Pukul sepuluh malam dia akan sampai di rumah lagi, langsung mandi dan masuk kamar. Arsen memang tipe orang yang memilih menyendiri ketika ada masalah apapun atau dengan siapapun.
Setelah malam itu, keluarga Arsen menjadi harmonis lagi. Mereka sering berkumpul di rumah bapak ketika weekend atau makan bersama di luar. Jika Mas Aksa dan Mbak Inge sedang tidak berkunjung ke rumah maka Arsen yang membawa ibu, bapak, dan Puri untuk jalan-jalan walaupun hanya ke taman kota. Keluarganya juga tidak lagi menanyakan tentang calon istri dan itu cukup membuat Arsen terlihat bahagia.
“Inge,” ibu memanggil Mbak Inge yang sedang meletakkan satu piring berisi tumis kangkung di meja makan, “sini buruan!” ucap ibu lagi.
“Kenapa, sih, bu?” Inge mendekat ke ibu yang tatapannya fokus pada bakwan yang sedang digoreng ibu.
“Adikmu itu, loh. Dia akhir-akhir ini sering ngajak ibu, bapak, sama Puri jalan-jalan.”
“Bagus, dong. Emang harusnya dia gitu dari dulu, nggak cuma kerja terus,” balas Mbak Inge sambil mengunyah bakwan.
“Tapi ibu pengen lihat dia ngajak jalan cewek atau ngenalin ceweknya ke kita,” ucap ibu sambil meniriskan bakwan-bakwan.
“Ibu mulai lagi, deh.” Mbak Inge menggantikan tugas ibu menggoreng dan menyuruh ibu duduk di kursi meja makan. Ibu duduk dan memerhatikan aktivitas Mbak Inge sambil menghela napas panjang.
“Usianya udah tiga puluh tahun tapi belum punya pacar. Kalau Aksa dulu walaupun usianya tiga puluh tahun tapi kan udah pacaran sama Dea, jadi ibu nggak khawatir.”
“Maksudnya ibu khawatir Arsen jadi perjaka tua?” tanya Mbak Inge dengan nada sedikit menahan tawa, “udahlah, bu, nanti juga pasti ketemu sama jodohnya.”
“Emang kamu tahu kalau adikmu itu sedang berusaha nyari jodoh? Tiap hari yang dilakuin cuma mesra-mesraan sama kucing, kok,” balas ibu. “Eh, dulu kenapa Arsen nggak jadi sama Dira, ya?” tanya ibu lagi, tiba-tiba.
Mbak Inge agak menoleh dan melihat sekilas ibunya yang terlihat berpikir, “ibu masih ingat aja.”
“Loh, soalnya kalau Arsen dulu masih lanjut sama Dira kan pasti sekarang dia udah nikah terus punya anak kayak temen-temennya.” Mbak Inge tidak merespon omongan ibu, matanya tertuju pada bakwan di dalam minyak.
“Coba tanyain, Nge,” ucap ibu sambil mendekat ke Mbak Inge, “biar ibu yang lanjutin goreng bakwan.”
Mbak Inge menuruti ibu dan membawa satu piring bakwan. Langkahnya menuju ke halaman depan, tempat di mana Arsen sedang mencuci motor kesayangannya. Mbak Inge meletakkan piring itu di atas meja teras dan duduk di kursi sambil memerhatikan punggung Arsen yang sibuk menggosok motor.
“Sen,” panggil Mbak Inge, membuat Arsen sedikit terlonjak, “gorengan, nih,” lanjutnya.
Arsen menatap kakaknya itu dengan tatapan kesal, “ngagetin aja, mbak.” Arsen beranjak dari tempatnya jongkok, mencuci tangan di kran, dan duduk di samping Mbak Inge yang sudah sibuk mengunyah bakwan.
“Katanya mau diet tapi makan mulu,” ucap Arsen sambil mencomot satu bakwan.