Titik Koma

Mitha Tiara
Chapter #3

Sina

Nama itu muncul dari pagi sampai pagi lagi sebagai notifikasi favorit Arsen. Sina adalah salah satu dari banyak wanita yang match dengannya di aplikasi kencan online. Sudah dua bulan Arsen mengobrol dengan gadis itu, bahkan dia mem-follow semua akun sosial media Sina agar dia bisa tahu seperti apa Sina sebenarnya.

Sayangnya, Sina adalah wanita yang cukup misterius. Dia tidak seperti wanita kebanyakan. Dia unik dengan caranya. Sina adalah tipikal wanita yang terlihat tidak begitu menyukai ‘promosi diri’ di sosial media seperti kaumnya. Ketika Arsen menjadi salah satu pengikutnya di instagram, feed Sina masih kosong, bahkan dia tidak menulis bio apapun. Di sana hanya ada beberapa highlight tentang apa-apa saja kegiatannya, hal-hal kesukaannya, dan sedikit fotonya. Sina juga mempunyai banyak karakter. Dari apa yang dilihat Arsen, Sina akan berperilaku berbeda di setiap sosial media. Kalau di whatsapp, Sina lebih terbuka dengan semua opini dan argumennya. Dia sering membuat status tentang isu-isu penting, kadang juga dia berperilaku konyol, memberikan tanggapan tentang sesuatu yang dilihatnya, atau ngomong apapun sebebas-bebasnya dan itulah yang membuat Arsen tertawa. Tetapi ketika di instagram, Sina menjadi sosok yang pendiam, tidak banyak membuat update apapun. Di sana dia hanya menunjukkan hal-hal yang menurutnya benar-benar penting. Semua itu, menurut Arsen, adalah hal yang berbeda. Selama ini Arsen belum pernah menemukan orang semacam Sina, jadi dia yakin bahwa Sina adalah target potensial baginya.

Hanya saja Arsen merupakan tipikal lelaki yang cukup gengsian dan pemalu kalau mendekati wanita secara terang-terangan. Dia takut jika dirinya terlalu menunjukkan rasa sukanya maka wanita itu akan risih dan menjauh. Arsen tidak mau Sina menjauhinya, maka Arsen bertingkah seolah dia tidak punya perasaan ke Sina. Dia menjadi sering melakukan tarik ulur dengan tiba-tiba menghentikan obrolan atau menghilang. Dia melakukan itu bukan karena tidak menyukai Sina. Justru karena dia menyukai Sina maka dia menguji Sina untuk mengetahui apakah Sina mencarinya atau membuat usaha lebih untuk dapat terus ngobrol dengannya. Tetapi, lagi-lagi, Sina memang tidak seperti wanita-wanita yang selama ini dikenal Arsen. Bukannya mencari Arsen atau memberinya pesan jika Arsen menghilang, Sina malah memposting kegiatan bersama teman-temannya, hobi yang sedang digelutinya, ataupun pencapaiannya. Itu semua malah membuat Arsen menyesal sudah dengan sengaja bersikap seolah mengabaikan Sina. Apa yang dilakukan Arsen justru membuat Sina selalu menang. Selalu Sina yang pada akhirnya bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah wanita mandiri yang mampu melakukan banyak hal-hal positif di luar sana, bahkan tanpa kehadiran Arsen.

“Aku, tuh, ngilang biar dicariin. Eh, dia malah seneng-seneng,” Arsen mengomel sambil memakan brownies buatan Mbak Inge. Mbak Inge ketawa sambil terus mendengarkan Arsen. Hari itu adalah Sabtu dan Arsen sudah sejak pagi datang ke rumah Mbak Inge dengan wajah masam. Saat itu Arsen baru menceritakan semua tentang Sina, perkenalannya dengan gadis itu, dan bagaimana kedekatan mereka selama beberapa bulan terakhir.

“Siapa suruh kamu diemin dia?” Mbak Inge mencibirnya, “kalau mau dia suka dan peduli sama kamu, ya, kamu harus peduli juga sama dia bukannya malah ngilang, dodol,” ujar Mbak Inge lagi sambil mencubit lengan Arsen dengan gemas.

Arsen mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok lengannya, “kan namanya tarik ulur, lagian kalau dia tahu aku peduli sama dia nanti dia ngiranya aku beneran suka sama dia…,”

“Lah, emang kenapa kalau dia tahu kamu suka sama dia?” Mbak Inge memotong omongan Arsen dengan kening berkerut.

“Ya… nanti dia malah menjauh atau justru manfaatin aku. Sewek itu bakalan seenaknya kalau tahu dia dikejar-kejar sama cowok,” jawab Arsen.

“Cowok juga gitu, kali,” ucap Mbak Inge tidak terima. “Udahlah kamu turunin gengsimu dikit, terus perjuangin dia kalau emang kamu suka. Menurut mbak, sih, cewek ini beda banget sama yang lainnya, Sen. Makanya mbak setuju, deh, kalau kamu bisa jadian sama dia apalagi sampai nikah,” terang Mbak Inge dengan mata berbinar. Dia memberikan senyum sumringah ke Arsen yang justru direspon Arsen dengan ekspresi datar.

“Bukannya nggak mau berjuang, mbak. Cuma…,” Arsen menghela napas sebentar, “banyak yang suka sama dia,” lanjutnya dengan muka keruh.

“Terus?” Mbak Inge menatapnya bingung.

“Siapa tahu di antara cowok-cowok itu ada yang lebih baik dari aku. Siapa tahu ada yang lebih ganteng atau lebih pinter dan Sina suka sama cowok itu. Terus ternyata selama ini Sina merespon aku karena dia cuma pengen bersikap ramah aja bukan karena beneran suka. Gimana?” cecar Arsen dengan nada agak kesal.

Mbak Inge menepuk pundak Arsen pelan, “Sen, kalau dari ceritamu kayaknya Sina bukan tipe cewek yang gampang suka sama cowok atau gini aja…,” Mbak Inge menatap Arsen dengan lembut sementara Arsen menatapnya bingung, “kamu mulai sekarang harus rajin do’ain Sina, biar dia luluh.”

Arsen mengangguk. Di wajahnya sangat jelas terlihat bahwa dirinya ragu. Banyak tanda tanya yang masih bermunculan di kepalanya. Arsen menghela napas dan matanya memandangi televisi yang sedang menayangkan kartun. Suara Mbak Inge terdengar nyaring di sebelahnya, menertawakan adegan-adegan lucu di sana. Arsen beralih ke arah ponsel dan menyalakannya. Dia langsung menuju satu kolom chat yang berisi banyak percakapan. Sudah dua minggu yang lalu dia mendiamkan Sina setelah gadis itu membalas pesannya dengan candaan. Kini dia tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi dirinya rindu berbincang lagi dengan Sina, tapi di sisi lain dia terlalu takut untuk memulai percakapan. Biasanya, Arsen memulai obrolan dengan membalas status whatsapp Sina. Namun beberapa hari itu Sina tidak membuat status yang dapat memberi Arsen ruang untuk merespon.

Arsen menghela napas lagi dan menutup ponsel, dilihatnya Mbak Inge masih mengunyah brownies dengan mata masih tertuju ke layar televisi. Tidak lama kemudian Arsen pamit. Dia menuju ke luar dan menyalakan motor. Wajahnya masih sama, dihiasi dengan ekspresi penuh kerisauan. Sepanjang jalan pulang, di pikiran Arsen hanyalah kalimat Mbak Inge yang sempat diucapkan kepadanya.

“Kalau kamu diem terus dan nggak mau berusaha perjuangin dia, maka pilihannya cuma dua. Dia nggak bisa suka sama kamu atau kamu keduluan orang lain.”

***

Sebuah earphone sudah empat jam menancap di kedua telinganya sejak selesai Isya’ tadi. Arsen memejamkan mata dan memainkan playlist secara acak. Dia mencoba mengalihkan pikirannya tentang Sina, tetapi justru semua itu tidak membantu. Akhirnya Arsen menyerah dan membiarkan tubuhnya tergeletak di atas kasur begitu saja.

“Arsen!” ibu mencabut earphone dari telinga Arsen, membuat Arsen kaget dan langsung terbangun.

“Apaan, sih, bu?” balas Arsen kesal sambil mematikan playlist-nya.

“Dari tadi ibu udah panggil kamu sampe teriak-teriak, makanya kuping itu jangan sering-sering disumpal gitu,” sungut ibu sambil masih berdiri, “besok anterin ibu ambil kebaya sekalian kamu beli kemeja baru buat nanti ke nikahannya Anto.”

Arsen mengangguk dan membenarkan letak bantalnya lagi, “eh… bentar!” ibu menarik tangan Arsen, membuatnya tidak jadi merebahkan kepala. “Kamu nggak mau ngajak cewek ke kondangannya Anto?” tanya ibu.

Arsen memutar bola mata, “nanti aku bawa Puri,” jawabnya asal yang justru membuat ibu memukulnya sambil ketawa. Ibu meninggalkan kamar Arsen dan menutup pintu. Arsen melanjutkan aktivitas rebahannya dan membuka ponsel lagi untuk menyalakan lagu kembali. Tetapi matanya tiba-tiba terbelalak. Dia mengucek mata beberapa kali dan melihat layar ponselnya dengan senyum sumringah. Sina baru saja membalas pesannya. Tadi Arsen memang sengaja membalas status whatsapp yang memperlihatkan foto seekor kucing dengan corak lucu.

[Arsen]: mirip levi…

[Sina]: siapa? tetanggamu?

Arsen ketawa membaca pesan itu. Sensasi itu yang dirindukannya setiap kali berhenti ngobrol dengan Sina, yaitu kerinduan akan segala perkataan Sina yang lucu.

[Arsen]: bukaaannn, kucingnya mbakku

Arsen kemudian mengirimkan foto Si Levi yang masih kecil. Dia menceritakan tentang kelakuan-kelakuan Levi ketika dulu masih tinggal di rumahnya. Sejak Mbak Inge menikah, Levi memang harus berada di rumah Mbak Inge dan menjadi tidak akrab lagi dengan Arsen. Malam itu Arsen dan Sina membicarakan banyak hal tentang Levi sampai berujung ke jajanan tradisional. Mengobrol dengan Sina memang bisa sangat random. Awalnya membicarakan tentang A dan selanjutnya bisa berubah membicarakan tentang B, C, D, dan masih banyak lagi. Hal itu membuat Arsen kecanduan.

[Sina]: udah malem, kamu gamau tidur?

Arsen melihat jam di layar ponselnya. Dia tahu bahwa itu adalah kode dari Sina untuk menghentikan percakapan tetapi Arsen sedang asyik-asyiknya. Dia tidak mau berhenti begitu saja, apalagi setelah sekian lama mereka tidak mengobrol.

[Arsen]: kamu ngantuk? tidur duluan aja gpp

Lihat selengkapnya