(;) Titik Koma

Miftachul W. Abdullah
Chapter #1

I Just Wanna Lemon tea

Aku masih berada dikampus, sore itu hujan cukup deras. Beberapa mahasiswa masih bercengkrama di depan ruang kelas menunggu reda. Di sudut ruang yang lain masih berlangsung perkuliahan. Aku juga sedang menunggu hujan ini mereda. Kurogoh airpod dari ranselku, lalu aku memakai earphone untuk mendengarkan musik dan menikmati hujan ini.

Kualihkan pandanganku kelangit, warna sempurna putih. Sepertinya hujannya akan awet, suasananya cukup tenang. Tapi sialnya, tidak kunikmati momen seperti ini dikamarku. Terpaksa aku harus menunggu ini sampai reda. Kupejamkan mataku perlahan.

“Hai”.

“Hai…”

Tiba-tiba ada seseorang yang menyentuh lenganku.

“Maaf, siapa ya?” kulepaskan earphoneku.

“Aku sudah memanggilmu dua kali” ia memberiku senyuman tanpa dosanya.

“Pertanyaanku, kau siapa?”

“Aku reporter media kampus”

“Apa yang kau mau?” tanyaku ketus. Sebenarnya aku tidak punya waktu untuk basa-basi seperti ini. Wasting time.

Pandangannya menyelidik. Tapi lagi-lagi dia kembali tersenyum. Gigi mentimunnya sempurna rata terlihat. Aku tak pernah melihat orang ini sebelumnya.

Hujan masih belum juga mereda, namun langit kian memutih. Tapi barangkali banyak hati yang hitam karena masalahnya, beban dan pikiran-pikiran yang menghantuinya.

“Kembalilah menulis tentang mental illness di media kami. Kami sangat butuh tulisan seperti itu. Banyak reader yang menyukainya dan mencari tulisanmu yang lain.” Untuk sekian kalinya ia kembali tersenyum.

“Tulisan apa?” tanyaku dan mengalihkan pandang darinya.

“Kau Aileen kan?”

“Tahu darimana?” Jawabku ketus tanpa menoleh kearahnya dan kembali mengenakan earphoneku.

“Nama pena penulis ini namanya Neelia. Hanya orang-orang yang tinggal di Malang saja yang tahu dan sering membalik nama, kata dan kalimat. Dan jika nama itu dibalik maka yang terbaca adalah Aileen. Satu-satunya mahasiswa bernama Aileen hanya kau seorang. Jadi mudah bagiku untuk menemukanmu”. Lagi-lagi dia tersenyum.

“Maaf, kau salah orang” Aku pergi meninggalkan lelaki itu.

Ia berteriak membelakangiku.

“Aku sudah meluangkan rubrik di website kami untuk tulisan-tulisanmu. Kapanpun kau mengirim tulisanmu, aku akan siap sedia untuk mempublikasikan tulisanmu, Neelia”

Sontak aku terkejut. Dan berhenti melangkah sejenak. Untuk pertamakalinya seseorang memanggilku dengan nama pena itu. Tak banyak juga yang tahu jika aku memakai nama itu. Tapi dia adalah orang pertama yang memanggilku demikian. Beruntungnya langkahku terhenti bersamaan dengan suara petir yang cukup jelas, jadi dia tidak akan mengira bahwa aku berhenti sejenak tersebab ia memanggil namaku Neelia.

Aku pulang ke apartemenku dengan menumpang temanku, kebetulan dia membawa mobil. Sebenarnya jarak apartemen dengan kampus cukup dekat, aku terbiasa berjalan kaki, toh sekaligus olahraga ringan. Jaraknya hanya sekitar 10 menit saja. Bahkan kampusku terlihat sangat jelas dari apartemen. Tetapi karena hujan dia mengajakku untuk pulang bersama. Dia pun teman yang tak lama ku kenal, kami berbeda jurusan. Hanya saja apartemenku berbeda satu nomor saja dengannya, dia tetanggaku di apartemen. Dia sangat ramah, berbanding terbalik denganku yang tidak begitu ramah dengan orang baru.

“Kau seriusan mau langsung pulang? Mau nongkrong dulu?” Ia menawariku untuk tak langsung pulang.

“Boleh” jawabku datar dan senyum yang kupaksakan.

Mobil mungil berwarna orange itu segera meluncur dengan kecepatan sedang setelah keluar dari kampus. Hujan masih belum mereda. Kulihat ke sisi jendela yang sedikit berembun, kami melewati depan apartemen yang berada di sebelah kiri jalan. Petugas depan apartemen mengarahkan beberapa mobil yang keluar masuk. Ia mengenakan mantel hujan berwarna hijau yang cukup mencolok. Aku bersyukur dengan orang yang seperti itu, dibandingkan dengan petugas parkir ilegal yang biasa memalak kami di minimarket.

“Sudah tidak ada jam kuliah?” tanyaku basa-basi.

Lihat selengkapnya