Aku merebahkan tubuhku dengan telentang, memandang lamat-lamat langit kamarku. Menarik nafas dalam-dalam, perlahan menghembuskannya. Aku mengulanginya beberapakali tapi justru airmataku ikut merembes mengalir.
“Bahkan sebelum mereka resmi bercerai hari ini, bagiku mereka sudah bercerai sejak dulu, Aileen.” Kata-kata Veronica ini selalu terngiang-ngiang di telingaku. Aku juga pernah merasakan hal ini. Aku bukanlah gadis yang terlahir dari orangtua kaya atau berkecukupan. Orangtuaku hanyalah penjual makanan di pasar ikan, ayahku seorang pelaut. Mereka sibuk mencukupi makan dan kebutuhan keluarga kecil kami.
Saking sibuknya mereka, untuk berangkat sekolah saja aku harus meminta tetangga rumahku untuk membantu menguncir rambut. Sepulang sekolahpun aku tak menjumpai siapapun di rumah. Benar-benar kosong tanpa siapapun. Aku anak tunggal, ibuku sudah terlalu tua untuk memiliki anak lagi waktu itu.
Barangkali waktu itu orangtuaku sudah menyerah untuk memiliki seorang anak sebab usia pernikahannya sudah menginjak 15 tahun dan belum juga dikaruniai seorang anak. Pikirku seharusnya mereka jauh lebih mencintaiku. Ternyata aku selalu menjadi alasan bagi mereka untuk bekerja lebih keras lagi, sehingga untuk sekedar mengantarku sekolah, menguncir rambut dan menyambutku sepulang sekolah tak pernah kurasakan.
Aku masih teringat saat aku bertengkar dengan teman sekolahku sewaktu TK, jelas-jelas dia merebut mainanku sehingga kami bertengkar dan orangtuanya membela anak itu sedang aku tak mendapat pembelaan dari siapapun. Bahkan sampai detik ini pun orangtuaku tak akan tahu.
Sewaktu SD pengambilan raport, aku saja satu-satunya siswa yang tidak ditemani orangtua untuk mengambilnya. Padahal aku selalu peringkat satu dikelas. Tapi seakan mereka tak pernah peduli dengan itu, tak pernah memberiku apresiasi. Sungguh, ini menyakitkan. Aku tak berharap ini teringat, tetapi semenjak Ica bercerita tentang orangtuanya, seluruh ingatanku di masalalu seperti terbuka dari segelnya.
Tak hanya itu, namaku yang terdengar aneh di telinga masyarakat apalagi ditengah-tengah para pelajar, aku menjadi sasaran bully. Seringkali aku dipanggil Alien, bukan Aileen. Aku digambarkan sebagai makhluk asing dan aneh dari suatu planet yang jauh. Ditambah lagi, satu daun telingaku berbentuk tidak begitu sempurna seperti daun apel. Sejak saat itu hingga sekarang aku tak pernah lagi menguncir rambutku. Aku selalu menggeraikannya. Setiap aku aku mencoba untuk menguncir, ingatan masalaluku kembali menyayat hatiku. Lalu ku urungkan. Dalam istilah psikologi yang kuperlajari, apa yang kualami adalah primal wounds, kondisi dimana seseorang merasa tidak dicintai, dikucilkan, meresa jelek dan beberapa hal lainnya yang berakar pada kejadian-kejadian di masa kecil.
Aku mengambil smartphoneku, ada satu notifikasi satu akun yang baru saja mengikutiku di media sosialku. Aku penasaran dan membuka profil akun tersebut. Tak ada identitas apapun.
“Aku menemukanmu Aileen 😊” sebuah direct message kubuka dari akun tersebut. Dan terdapat emoji senyum. Aku langsung bisa menebak ini pesan dari siapa. Tapi ini sudah cukup larut. Aku memilih istirahat saja. Menatap layar gadget akan mengganggu kualitas tidur. Aku kembali meletakkan smartphone itu ke meja disamping tempat tidurku, lalu kumatikan lampu tidur. Gelap, tapi langit-langit apartemenku berkilauan bintang-bintang kecil sebab beberapa stiker bercahaya yang menempel.
Aku bisa melihat suasana kota dengan jelas dari apartemenku sekalipun hanya rebahan saja di atas kasur. Gedung-gedung pencakar langit juga terlihat kokoh seperti saling menjaga satu sama lain. Hiruk pikuk kota terdengar samar. Jalanan sepertinya masih juga padat. Mataku semakin kabur dan aku perlahan terlelap.
***
Suasana kelas cukup ramai, beberapa mahasiswa sedang asyik mengobrol satu sama lain, sembari menunggu dosen. Ada yang memilih berada di luar ruang kelas sembari menikmati lalu lalang mahasiswa, barangkali mengabsen satu-persatu mahasiswa yang keluar masuk lift. Aku lebih memilih membaca buku dan sesekali membuka smartphone ku.
“Aileen… shhht” tegur seseorang tepat dibelakangku.
Aku menoleh kearahnya.
“Kau berteman dengan mahasiswa yang tempo hari mendatangimu?”
Aku menggeleng.
“Dia selebgram kampus lho”
Aku tertawa dan mengangguk-angguk. “Berapa followersnya?”
“350 K.” Dia menjawab dengan memasang wajah mantap dan mengisyaratkan dengan jarinya.
“Oh, ternyata dia selebgram.” Jawabku singkat. Tapi beberapa waktu lalu yang mengirimiku direct message siapa ya? Kupikir si reporter bergigi mentimun itu.
Belum sempat aku berpikir lebih dalam, pandanganku tiba-tiba berpaling ke luar pintu kelas. Mahasiswa yang di luar kelas tadi berbondong-bondong masuk. Ini pertanda dosennya sudah datang. Dan, benar, lelaki paruh baya berbadan bongsor dan berkumis tipis itu memasuki ruang kelas dan memberikan senyuman kepada kami.
Di tengah-tengah dosen itu mengajar, smartphoneku bergetar. Sepertinya ada notifikasi. Aku mengabaikannya sampai mata kuliah ini selesai, hanya dua SKS jadi tak cukup lama.
“Datanglah ke perpustakaan, Aileen.” Begitu isi direct message dari akun yang sama dengan beberapa hari kemarin.
“Kau kira kau siapa? Anak sultan? Seenaknya saja menyuruhku.” Gumamku. Aku mengabaikan pesan itu. Sengaja kubaca saja.
Smartphoneku kembali bergetar. Dari Ica, “Kutunggu di kantin ya. Sudah makan siang? Sini kutraktir.” Lagi-lagi anak ini mau mentraktirku. Dia memang selalu begitu. Hobbynya adalah mentraktir orang. Aku datang dan memilih soto. Tapi aku mendahuluinya membayar. Sesekali aku juga yang membayarnya.
“Aileen, akhir pekan depan ada konser musik di Graha kampus, kau sudah punya tiket?”
“Ohya, siapa?” tanyaku antusias. Aku sudah lama tidak nonton konser musik.
“Musik-musik indie nasional dan lokal. Aku sudah memesan tiket online, satu untukmu dan satu untukku.” Dia menyodorkan smartphonenya padaku. Lalu mengirim padaku capture tiket itu.
“Sebagai balas budinya kau memberiku tiket konser. Kukerjakan jurnalmu. Carilah referensi yang tepat. Karena aku tak tahu betul apa yang kau butuhkan. Jika sudah dapat kirim saja padaku, aku akan mengerjakannya untukmu.”
Ia tersenyum lebar dan memberiku pelukan hangat. “Kau memang yang terbaik, Aileen.”
***
Perpustakaan kampus ramai pengunjung. Setiap sudutnya terisi. Hampir susah mencari tempat kosong untuk membaca dan membuka laptop. Lelaki yang memakai kemeja flanel kotak-kotak itu meneteng beberapa buah buku dan ranselnya menggantung di satu bahunya.
Setelah keliling dan melihat-lihat meja sekitar ia menemukan satu spase kosong. Sayangnya di meja itu colokan listriknya sedang tidak berfungsi, ia mencari meja lain lagi. Tak butuh lama sebagaimana ia mencari meja seperti diawal tadi, kali ini ia kembali menemukan meja kosong.
“Permisi, apakah colokan listriknya bisa dipakai?”