Hamparan tanah di tengah gedung-gedung berlantai tiga yang ditumbuhi rumput hijau rapi terawat, tiang besi tinggi menjulang tertanam kokoh dengan bendera merah putih tergantung di pucuk, dikelilingi paving block berbentuk hexagon berwarna merah sebagai batas area pengibar bendera, menjadi fokus siswi Sekolah Menengah Atas Tunas Nusantara. Sesekali, siswa dan siswi lain dari kejauhan menatap aneh ke arahnya.
“Zid, tiang bendera nggak bakal lari, jangan diawasi terus,” tegur teman sekelasnya sekaligus sebangkunya, Raymond. “Dicari para pelanggan, tuh. Member Seven Tea, terutama,” imbuhnya.
Siswi kelas tiga SMA yang juga tengah menimba ilmu agama di Pesantren Pancasila Sakti tidak jauh dari sekolah itu, menoleh, menatap teman sebangkunya yang tampak setenang telaga.
Pandangan Zid beralih pada kerumunan siswa siswi yang mengelilingi kontainer jajanan yang ia taruh di depan kelasnya, IPA-III. Napas sesak menghimpit dadanya. Remaja yang dipanggil Zid itu mendesah gusar.
“Kata Faradisa Nadiva dan Alex, cari ilmu di tempat beda-beda, tuh, ide-mu. Padahal kalian bertiga nggak pernah pisah sejak bayi. Kenapa sekarang kamu yang kelihatan paling menderita?” ejek Raymond.
Zid mendorong napas, semakin gusar. Ingat betul apa yang ia katakan kepada dua sahabat yang telah bersama sejak posyandu—saat mengantar Nadiva ke asramanya di Pancasila Sakti pusat.
***
“Kalian nggak sedih pisah sama aku?” tanya Faradisa Nadiva, kala itu, dengan mata berkaca-kaca.
Alis kanan kiri Alexandra bertaut. Begitu pula dengan Zid. Keduanya saling bertukar pandang, lalu menggeleng. Nadiva merasa sangat kesal.
“Fara, aku minta nasihat kakak-kakakku sebelum memutuskan belajar di pesantren lain yang bukan asuhan keluargaku. Mas Yazid cerita tentang nasihat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari untuk para pencari ilmu, salah satunya memotivasi temannya untuk berusaha mendapatkan ilmu, dan kasih tahu tempat-tempat yang bagus untuk mencari ilmu. Aku tahu kamu ingin jadi tour guide, pilot, nahkoda, pelayar, atau semacamnya supaya bisa keliling dunia. Kata Kang Ramadhan, jadi pelayar butuh ilmu bahasa. Jadi aku ngusulin sekolah billingual ini ke Bu Sandra. Bukannya kita bertiga juga sudah setuju?” tutur Zid. Alex mengangguk.
“Aku juga ingat nasihat Bu Sandra. Kalau kita nggak mau ngerasain pahitnya cari ilmu, kita harus siap ngerasain pahitnya kebodohan seumur hidup,” sambung Alex.
Nadiva sangat tahu. Itu bukan nasihat ibunya, melainkan nasihat Imam Syafi’i yang sangat populer di kalangan para santri. Hanya saja, kebetulan Alex yang non-Muslim mendengar dari ibunya.
“Kita sama-sama lagi usaha cari ilmu, Fara. Emang nggak mudah, tapi kita harus bertahan, kan? Aku nggak mau jadi orang bodoh,” kata Alex, remaja perempuan berdarah Korea Selatan dan China. Alis tipisnya menyatu. Mata orientalnya terlihat semakin sipit.
“Kayaknya, kalian lebih milih sedih pisah sekolah sama sahabat ketimbang sedih karena bodoh,” keluh Nadiva.
“Iya, donk,” tandas Alex dan Zid bersamaan.
“Ah! Kalian ini.” Nadiva semakin bersungut-sungut. Matanya sembab, kantong udara di dadanya kian siap meledak. Alex dan Zid merasa bersalah.
Zid merangkul pundak sahabat Sekolah Menengah yang enam bulan lebih tua darinya seraya berkata. “Kita bertiga pernah main petak umpet malam-malam sampai lupa kalau besoknya ada ulangan. Kita nggak belajar sama sekali, udah gitu guru kita disiplinnya kejam, jadi nggak ada satupun soal yang bisa kita jawab. Akhirnya nilai kita nol. Aku berharap banget pengalaman itu jadi kebodohan terakhir kita,” tutur Zid. Fara semakin tertunduk menekuri lantai.
“Kita berakit-rakit ke hulu, berenang-renang di lautan,” ucap Alex percaya diri. Air mata Faradisa tumpah bersamaan dengan tawanya yang meletus.
“Ke tepian, Alex, bukan di lautan,” ucap Zid terbahak-bahak. Tangan yang semula digunakan untuk merangkul bahu Faradisa, kini digunakan untuk menutupi mulut. Getaran tawanya menulari Faradisa. Alex tampak malu. Lalu tawa ketiganya menggema hingga terdengar dari luar kamar asrama.
***
Zid menutup wajah dengan dua telapak tangannya. Mendorong dua sahabatnya, Nadiva dan Alex untuk bersekolah di tempat yang berbeda sesuai minat masing-masing memang menjadikan hari-harinya damai tanpa pertengkaran, tapi ia juga merasa kesepian.
Bertahun-tahun telah berlalu sejak Zid turut mengantar Alex ke asrama sekolah Katolik, rasanya masih sama. Meski terbilang mudah bergaul, Zid cukup sulit membuka banyak hal kepada orang lain, termasuk teman sebangkunya, Raymond, yang baru saja menegur dan mendaratkan bokong di samping tempatnya duduk tanpa khawatir celana seragamnya akan kotor, atau basah oleh tetesan embun pagi di rumput.
Raymond menerka arti setiap ekspresi teman sebangkunya. Mimik wajah oval terbalut jilbab putih dengan kulit kuning langsatnya tampak muram diterpa gundah gulana. Iringan suasana gaduh di lapangan depan gedung sekolah pada senin pagi yang dipenuhi siswa-siswi penerima hukuman karena terlambat mengikuti prosesi upacara. Di antara mereka itu ada yang menanti Zid di kelas paling ujung bersebelahan dengan toilet.
“Teman-teman nunggu kamu, Zid.” Zid menoleh. Menatap wajah manis remaja laki-laki berdarah Batak di sampingnya, beralih menatap teman-teman yang mengelilingi kontainer tempat dirinya menaruh barang dagangan, lalu kembali menatap lurus ke depan.
“Aku, kan, udah bilang, belinya nanti saja kalau jam istirahat,” sungut Zid.
“Tumben kamu nolak pelanggan?” Raymond mengerutkan kedua alisnya. Heran. “Kalau nunggu siang, mereka nanti kehilangan selera karena jajannya dingin. Kamu juga akan kehilangan kepercayaan kalau jajanan itu sampai nggak habis.”
Zid tidak memedulikan dagangan saat ini. Dalam diam, ia berpikir. Haruskah menceritakan kegelisahan lain yang dia rasakan kepada Raymond saja? Dua sahabatnya yang menimba ilmu di tempat berbeda itu mungkin sedang fokus mempersiapkan ujian kelulusan SMA juga, sama seperti dirinya.
“Kamu boleh cerita ke aku, Zid. Kita duduk sebangku sudah hampir enam tahun, sejak SMP. Masa, kamu nggak percaya sama aku?”
Benar juga, batin Zid. Memantapkan hati, dia pun akhirnya membuka suara.
“Buya tahu aku jualan di sekolah, Ray,” ungkap Zid pada akhirnya.